Senin, 22 November 2010

Tantangan Orientalisme

Oleh: SYAMSUDDIN ARIF

Pada 12 Mei 2010 lalu, saya diminta kampus International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, untuk mempresentasikan sebuah makalah berjudul ”Islamic Studies Today: The Challenge of Orientalists” (Studi Islam Hari Ini: Tantangan dari Orientalis).

Suasana diskusi cukup semarak. Hadirin sebagian besar adalah mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai fakultas; studi Islam, hukum, pendidikan, ekonomi, dan sosial-politik di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ada juga beberapa profesor, dosen senior, peneliti dan beberapa perwakilan lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang tampak hadir. Ini adalah kali kedua dalam seri kuliah bulanan di ISTAC yang mengambil tema ”Islamic Thought after Post-Modernism”.

Istilah‘Orientalis’ biasanya ditujukan kepada para Ilmuan Barat yang melakukan kajian terhadap Islam. Bidang kajian mereka tidak terbatas hanya soal agama Islam, tetapi mencakup budaya, bahasa, dan sejarah. Mereka juga memperluas kajiannya dalam peradaban-peradaban dunia yang lain seperti India, China, Mesopotamia, dan Mesir. Kepentingan mereka dalam mengkaji peradaban Timur juga dibarengi dengan semangat Enlightenment, yang terkenal dengan istilah ”Ex Oriente Lux” (dari Timurlah munculnya cahaya).

Kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam telah muncul sejak zaman pertengahan, terutama saat terjadinya Perang Salib. Mereka memulai dengan menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin. Pada tahun 1143 M, al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton yang diberi judul ’Lex Mahumet Psudoprophete.’ Proyek ini diselesaikan di Spanyol atas bantuan dari Peter the Venerable, seorang Kepala Biara Cluny di Prancis. Demikian pula dengan karya-karya intelektual Muslim seperti al-Shifa, Qanun fi al-Tibb, al-Tasrif, dan al Zij. Dari gerakan penerjemahan, pada abad ke-16 banyak universitas di Eropa mulai mengajarkan bahasa Arab dan bahasa orang-orang Islam yang lain seperti; Persia dan Turki. Di Paris materi ini dibuka pada tahun 1635, Oxford dan Cambridge pada tahun 1636, diikuti Leiden, sesudah Salamanca, Roma, dan Bologna.

Pada awalnya, orang-orang Barat belajar Islam dalam rangka kebangkitan kembali yang kemudian mereka sebut Renaissance. Namun, tujuan mereka tidak sekedar untuk itu, mereka juga mengekpresikan kejahatan agama Islam kepada publik yang mereka salahpahami dari ajaran-ajarannya.

Semangat mempelajari agama Islam tampak juga pada hubungannya dengan kolonialisasi. Hal ini bisa dilihat pada saat Napoleon Bonaparte datang ke Mesir (1789 M) dengan membawa pasukan dan para ilmuan yang ditugasi untuk mempelajari bahasa, agama, dan budaya orang-orang Mesir. Hubungan ini makin rapat pada saat penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk mempelajari daerah Aceh yang dilakukan oleh Snouck Horgronje.

Hampir tak ada bidang yang luput dari kajian para orientalis. Pada abad ke-19 beberapa orientalis mulai melihat pentingnya metodologi yang telah diterapkan pada kitab Bibel untuk diaplikasikan dalam studi Islam khususnya metode kritik sejarah. Berbagai teori kajian Islam dan sejarahnya juga dikenalkan kepada kaum Muslim, terutama pada cendekiawannya.

Muncul pelbagai teori yang kerap dipakai Orientalis, semisal teori pengaruh (theories of influece), teori asal-asul (theories of origins), teori peminjaman (theories of borrowing), teori evolusi (theories of evolution), dan teori perkembangan (theories of development). Teori-teori ini diterapkan oleh Orientalis sebagaimana tampak dalam karya-karya mereka; A Literary History of the Arabs (Reynold Nicholson), Judaism in Islam (Abraham I. Katsh), Quranic Studies (John Wansbrough), the Qur’an as Text (Stefan Wild) dan sebagainya. Bahkan metode mereka telah mempengaruhi para intelektual Muslim Indonesia yang muncul dalam karya mereka diantaranya Edisi Kritis al-Qur’an.

Perbedaan Studi Islam yang dilakukan Orientalis dan kaum Muslim dapat dilihat dari cara mereka berasumsi. Para Orientalis beranggapan bahwa agama Islam adalah objek penelitian yang tidak ada hubungan dengan kebenaran yang ada dalam agama Islam. Mereka melakukan kajian sekedar untuk tujuan penelitian, tanpa mempertimbangkan orang-orang Islam yang memeluknya dan kebenaran yang telah mereka yakini dari agama ini. Selain itu, mereka juga melihat agama Islam sebagai fenomena sosial atau literatur yang layak dikaji melalui pendekatan budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan perbandingan agama. Dengan begitu, mereka membagi Islam dalam dua kategori; Islam normatif (yakni segala norma dan aturan keagamaan yang ditentukan oleh Allah swt), dan Islam aktual (ajaran yang dilakukan oleh orang-orang Islam di berbagai tempat). Akibatnya muncul kategori-kategori aneh semacam Islam klasik, Islam Fundamental, Islam Pertengahan, Islam Moderat, Islam Radikal, dan Islam liberal. Semua ini adalah pembagian yang tidak tepat.

Untuk membendung serbuan intelektual yang sangat masif dari kaum orientalis, maka kini diperlukan munculnya cendekiawan-cendekiawan Muslim yang memiliki basis tradisi keilmuan Islam yang kuat, menguasai wacana dan kiat-kiat orientalis dalam studi Islam, bermental ”bangga sebagai Muslim” dan berani bersikap kritis terhadap kajian orientalis.

Dalam kajian Sejarah Islam di wilayah Melayu-Indonesia, misalnya, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas telah merintis studi yang mendalam dan kritis terhadap hasil kajian orientalis tentang bidang ini. Kini ditunggu munculnya sarjana-sarjana Muslim yang melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah dirintisnya.

Selasa, 09 November 2010

Pendidikan Karakter: Apa Lagi?

Oleh: Anita Syaharudin

Pendidikan karakter! Dua kata ini, sejak 2009 seolah menjadi primadona, khususnya dalam dunia pendidikan. Berbagai diskusi, seminar, ceramah, dan bedah buku dilakukan untuk membahas dua kata tersebut.

Maklum, belakangan, marak berbagai peristiwa yang mempertanyakan moral atau karakter bangsa Indonesia. Media TV nyaris tiap hari diserbu tayangan-tayangan kekerasan. Terbongkarnya manipulasi pajak seorang pegawai golongan rendah bernilai puluhan milyar rupiah membelalakkan mata banyak orang. Berita pelesiran sejumlah wakil rakyat “yang terhormat” dengan menghambur-hamburkan uang rakyat menambah perut rakyat semakin mules. Kasus video porno tiga orang artis terkenal dan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja semakin membetot perhatian pelaku dan praktisi pendidikan.

Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009).


Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Padahal, di atas kertas, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah ideal: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Karena tidak “nyambung” antara cita dan fakta itu lalu sejumlah tokoh pendidikan dan pemerintah menggelorakan slogan besar: kita perlu Pendidikan Karakter! Dulu sudah pernah ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP), ada Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, Pendidikan Kewarganegaraan, dan sebagainya.
Lalu, apalagi “makhluk” yang bernama Pendidikan Karakter ini?

Pentingnya karakter
Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka bagaimana mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang baik. Barat mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan Islam mengajarkan manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-Sunnah. Akhlak atau karakter Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian” sesuai dengan makna dasar dari kata Islam.

Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh (uswah hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran.

Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn Miskawaih ((320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya, akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras. (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M)

Al-Ghazali (1058-1111M) yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak yang mirip dengan Ibn Miskawaih, yaitu bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah".(Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 2, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa, 2000, hlm.599)

Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1)

Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is knowledge … to be good at something os a matter of knowledge". (G.M.A. Grube, Plato’s Thought , USA: Hackett Publishing Company, 1980, hlm. 216-217). Plato (428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal yang lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi negarawan yang baik . Dalam bukunya yang terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya tentang pendidikan, bahwa agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan moral. “Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).

Emile Durkheim (1858 –1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat harus memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia mengatakan,“Society must have some good to achieve, an original contribution to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad counselor for collectivities as well was individual. When individual activity does not know where to take hold, it turns against itself. When the moral forces of a society remain unemployed, when they are not engaged in some work to accomplish, they deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile Durkheim, Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p. 13)

Karakter atau kehancuran
Thomas Lickona seorang pendidik karakter dari Cortland University, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika. Ide-idenya diterapkan pada level pendidikan dasar dan mengengah. Lickona mengungkapkan, bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, membudayanya ketidak jujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/peer group, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja, dan adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.(Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York:Bantam Books,1992 ,hlm 12-22).

Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.(Ibid, hlm.23).

Sebenarnya, secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya. Namun seperti halnya banyak mata pelajaran lainnya, mata ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan. Jika ini dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar.

Oleh karenanya diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral dan karakter yang diajarkan di sekolah, dan bagaimana praktek yang terjadi dalam keseharian siswa di sekolah. Teori, yaitu mencakup dimensi dan kurikulum pendidikan karakter apa saja yang diajarkan di sekolah, bagaimana kualifikasi atau kriteria pendidik yang semestinya, bagaimana hal tersebut diajarkan, bagaimana sistem penilaian keberhasilan pendidikan karakter tersebut. Lalu, lebih penting lagi, bagaimana praktek nyata dari teori-teori itu dalam bentuk perilaku guru dan siswa di sekolah.
Juga, yang terpenting, adalah keteladanan pemimpin dan guru. Guru harus bisa menjadi contoh. Jika guru gagal menjadi teladan, jangan heran, jika pepatah klasik berubah ekstrim: guru kencing berlari, murid bisa mengencingi gurunya.

Jika tiada kesungguhan keteladanan, maka Pendidikan Karakter hanya akan menjadi slogan dan menambah daftar panjang daftar kefrustrasian program pendidikan. Na’udzubillahi min dzalika. (***)

Selasa, 12 Oktober 2010

Al-Qur'an

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi
Brad Thor, seorang penulis novel yang produkif. Tulisannya yang agak mutakhir berjudul The Last Patriot, Thriller. Detail mengenai novel ini tidak penting. Tapi yang aneh karya fiksi ini memasukkan fakta-fakta sejarah Islam yang difiksikan atau dikarangnya sendiri. Ia misalnya menulis bahwa “pada bulan juni 632 Nabi Muhammad menerima wahyu terakhir. Dalam beberapa hari (kemudian) ia terbunuh”. Selain itu ia juga menyatakan bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad hilang. Tapi, di akhir buku itu, dalam Author’s Note ia menulis bahwa “pendapat tentangnya hilangnya wahyu Muhammad itu adalah karangan saya” dan pendapat tentang terbunuhnya Muhammad oleh sahabatnya itu adalah rekayasa saya (meskipun ada bukti bahwa Muhammad itu dibunuh)”.

Dalam novel itu Brad Thor mengaku bahwa diantara yang menjadi konsultannya adalah tentang Islam adalah Daniel Pipes dan Robert Spencer. Kedua konsultan ini banyak menulis Islam secara negatif. Robert Spencer menulis buku berjudul Islam Unveiled (DiIndonesiakan dan diterbitkan oleh Paramadina menjadi Islam Ditelanjangi).

Di dalam buku ini ia menggambarkan bahwa al-Qur’an tidak punya konsep damai dengan kafir and musyrik. Ia juga menyitir ayat-ayat perang terhadap kafir dan juga ahlul kitab. Itu berarti bahwa inti dari ajaran Islam, yakni al-Qur’an memang sudah memusuhi orang kafir. Bahkan dia menolak pernyataan Harun Yahya bahwa al-Qur’an buka sumber kekerasan. Kisah-kisah pembunuhan di zaman Nabi terhadap musuh-musuh Islam (yang berlum jelas kesahihannya) dibeberkan. Masih banyak lagi. Selain mengorek apakah Islam itu agama damai, ia juga “memojokkan” Islam dalam soal HAM dan soal Perempuan. Pendek kata Spencer melihat secara khusus sisi negatif Islam dari pemahamannya sendiri dan tidak menyebut sisi positifnya.

Ini seperti memberi tahu orang Barat bahwa Islam adalah masalah besar bagi Barat. Solusi yang ditawarkan Robert secara implisit muncul dalam bentuk pertanyaan: Apakah Islam kompatibel dengan Demokrasi Liberal? Dapatkah Islam Disekularkan, Dicocokkan dengan Pluralisme Barat? Apakah Islam toleran terhadap non-Muslim? Jawaban dari dua pertanyaan pertama adalah positif, sedangkan jawaban pertanyaan terakhir adalah negatif. Artinya, solusi masalahnya, Islam harus di Baratkan, disekularkan atau diliberalkan.

Robert Spencer seperti menegaskan bahwa masalah terbesar hubungan Islam dan Barat adalah al-Qur’an itu sendiri. Dan mustahil terjadi rekonsiliasi dengan Islam. Jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah mem-Barat-kan, mensekularkan, meliberalkan Muslim. Dan ini sudah berhasil di beberapa kasus.

Sejatinya, pembakaran al-Qur’an oleh John Terry atau siapapun tidak berdampak apa-apa bagi Muslim. Orang masih bisa mencetak lagi. Kita perlu marah karena ghirah kita, karena keimanan kita dan karena merusak sesuatu yang kita sucikan. Jangankan al-Qur’an bendera kita dibakar pun mengundang demo besar-besaran. Bagi yang tidak demo akan dicap rendah jiwa patriotismenya dan lemah nasionalismenya.

Memang mendemo pembakar Qur’an perlu, supaya tahu arti kitab suci bagi Muslim. Namun, yang lebih perlu adalah mendemo tulisan orientalis dan murid-muridnya yang merusak aqidah, menafikan syariah dan merendahkan status al-Qur’an dari wahyu menjadi sekedar “karangan” Nabi Muhammad. Karena menyerang ajaran al-Qur’an itu lebih dahsyat dari sekedar membakar mushaf al-Qur’an. Al-Qur’an adalah ilmu dan ilmu itu cahaya, karena itu cahaya itu harus diperjuangkan agar tetap hidup dalam diri kita.

Jumat, 27 Agustus 2010

Sains Modern

Kehidupan di muka bumi ini bermula sekitar 3½ miliar tahun yang lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, dengan begitu ber‘evolusi’ menghasilkan aneka ragam spesies baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai kemudian muncul spesies baru bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul kehidupan. Ribuan bahkan jutaan tahun berlalu tak seorangpun konon berhasil memberi jawaban memuaskan. Baru pada tahun 1735 Carolus Linnaeus dari Swedia menjadi ‘manusia pertama’ yang membuat klasifikasi berdasarkan kemiripan dan memberikan ‘nama saintifik’ bagi tiap-tiap spesies. Dan baru pada tahun 1859 teka-teki biologi tersebut berhasil dipecahkan oleh saintis Inggris bernama Charles Darwin. Manusia, sebagaimana spesies lain, ‘muncul’ (evolved) dengan sendirinya dari proses seleksi alam.

Jika dipikirkan kembali, dongeng evolusi ini tidak hanya sarat dengan khayalan tetapi juga berunsur penghinaan. Pertama, kendati berangkat dari kajian empiris selama pelayarannya di Amerika Selatan, penyimpulan Darwin lebih bersifat dugaan (conjecture) ketimbang kepastian. Dalam konstruk epistemologi Islam, pengetahuan semacam ini disebut zhann atau sangkaan. Validitasnya hanya sedikit lebih tinggi dari keragu-raguan dan kira-kira (wahm). Pengetahuan yang dibangun diatas teori serupa ini tidak sampai derajat yakin. “Mereka sekadar mengikuti sangka belaka, padahal sangkaan itu tidak bisa menggantikan kebenaran,” firman Allah dalam al-Qur’an (53:28). Kedua, cerita evolusi itu juga mengesankan seolah-olah bangsa kulit putih sajalah yang paling hebat. Tak salah jika banyak yang menyebutnya ‘heroisme kolonial’.

Anehnya, khayalan Darwin itu menjelma jadi dogma. “Susah, pak, menolak teori evolusi kalau ingin menjadi ahli biologi sekarang ini,” ujar sahabat saya dari Unibraw, Malang. Ia ibarat rukun iman bagi biolog modern. Tapi justru di sinilah letak persoalannya. Ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang kita pelajari dan kita ajarkan kepada siswa dan mahasiswa adalah ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 500 tahun terakhir. Mulai dari ilmu-ilmu alam hingga ilmu-ilmu sosial atau humaniora. Tak mungkin dipungkiri, ilmu-ilmu tersebut jelas diwarnai oleh akidah alias Weltanschauung ilmuwan bersangkutan. Secara sadar ataupun tidak, pelbagai disiplin ilmu yang kita konsumsi sekarang ini mengandung unsur-unsur halus naturalisme, materialisme, dan sebagainya.

Tak jauh beda khayalan ilmiah mengenai alam semesta. Konon, kata para saintis, alam semesta ini ‘muncul’ akibat ledakan mahadahsyat (Big Bang) yang terjadi sekitar 13.700 juta tahun silam. Kalau tidak percaya silakan hitung sendiri, kata seorang teman setengah berguyon. Ledakan tersebut melontarkan materi dalam jumlah sangat besar ke segala penjuru. Materi-materi itulah yang mengisi alam semesta ini, yang kemudian dinamakan bintang, planet, debu kosmis, asteroid, meteor, energi, dan sebagainnya. Maka dikhayalkan bahwa alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya dan akan terus menerus ada. Gambaran ini jelas memantulkan pandangan materialistis yang menafikan kewujudan Tuhan.

Namun sayang sekali kebanyakan ilmuwan kita seperti tidak berkutik di hadapan sains modern. Jauh dilubuk hati mengakui Allah sebagai pencipta dan berkuasa atas segala sesuatu dari partikel terkecil hingga galaksi dan jagat raya. Tetapi dalam pikiran bertahta saintisme beserta hulu-balangnya. Disaat kaum Muslim berlomba-lomba mengejar mantan penjajah mereka dalam bidang sains dan teknologi, seruan ‘islamisasi’ memang terdengar aneh. Apakah kaum Muslim harus menolak sains modern? Oh, bukan itu maksudnya.

Islamisasi bermula dari kerangka berpikir, ‘worldview’ yang terdiri dari gugusan konsep-konsep Islami berkenaan dengan Tuhan, Wahyu, Nabi, Ilmu dan seterusnya. Ia berfungsi sebagai filter penyaring dan penepis elemen-elemen yang tidak sesuai atau bertolak-belakang dengan konsep-konsep Islami tersebut. Ini karena sesungguhnya cara kerja pikiran kita tak ubahnya bagaikan sistem metabolisme badan. Meminjam ucapan Seyyed Hossein Nasr, penulis buku Science and Civilization in Islam: “Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit pun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang (No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected. It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected).” Artinya, kita hanya perlu bersikap lebih kritis dan selektif terhadap sains modern.

Menyatukan Fisika dan Metafisika

Written by Wendi Zarman

Menurut Prof. S.M. Naquib al-Attas, masalah kekeliruan ilmu (corruption of knowledge) adalah merupakan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat modern. (al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2010). Kekeliruan ini muncul akibat menyusupnya paham sekuler yang dibawa oleh peradaban Barat ke dalam ilmu-ilmu kontemporer. Ilmu yang keliru melahirkan tindakan manusia yang keliru pula. Inilah yang disebut oleh al-Attas, pakar Filsafat Sains, sebagai loss of adab, yaitu hilangnya kemampuan manusia melakukan tindakan yang benar karena bersandar pada ilmu yang keliru.

Tindakan yang keliru ini pada akhirnya bukanlah memberikan kebahagiaan, melainkan kesengsaraan kepada manusia. Buktinya, disaat sains dan teknologi sedemikian maju saat ini, umat manusia bukannya berhasil meraih kebahagiaan. Sebaliknya, berbagai keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam terus meruyak. Kerusakan lingkungan, wabah penyakit yang tiada henti, bencana alam, degradasi moral, kriminalitas, dan peperangan, dating silih berganti.

Ironisnya, paham sekuler inilah yang banyak dijadikan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan masa kini yang kemudian diajarkan di sekolah-sekolah. Hampir tidak ada disiplin ilmu alam atau sosial yang tidak terpengaruh oleh ideologi sekular. Salah satu buktinya adalah ditolaknya wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semua ilmu ini dibangun dalam kerangka rasionalisme dan empirisisme.
Ilmu Fisika sebagai ilmu yang sangat penting di era modern juga tidak lepas dari pengaruh paham sekular ini. Oleh karena itu, Ilmu Fisika perlu diislamkan. Apanya yang diislamkan?

Saat bicara Islamisasi Fisika, maka harus dimulai dari hal-hal yang paling asas dari Ilmu Fisika, bukan dari kulit luarnya. Islamisasi Ilmu Fisika bukanlah mengislamkan teori Newton atau teori relativitas Einstein sehingga menghasilkan suatu teori gerak baru yang Islami. Islamisasi juga bukan berarti mencocokkan al-Qur’an dengan temuan fisika modern terkini. Misalnya, mengaitkan teori Big Bang dengan al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 30 yang berbicara tentang penciptaan alam semesta. Islamisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah Islamisasi filsafat sains yang melatarbelakangi lahirnya teori-teori fisika tersebut. Hal ini karena teori-teori fisika tidaklah lahir dari ruang kosong, tapi berangkat dari suatu sandaran metafisika mengenai hakikat alam semesta.

Sebagaimana telah disebut di atas, sandaran metafisika sains modern yang paling utama adalah paham sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, salah satu dimensi dari sekularisasi adalah penghilangan pesona alam (disenchantment of nature). Artinya, alam hanyalah materi yang tidak memiliki makna spiritual. Oleh karena itu manusia berhak memperlakukannya sesuai dengan kemauan manusia. Dari sini kita dengan mudah mengidentifikasi mengapa masalah kerusakan lingkungan merupakan masalah paling pelik di abad modern.

Sekularisasi juga telah menyebabkan penelitian fisika hanya menyibukkan diri dengan fenomena lahiriah (empiris) dan melepaskan kaitannya dengan Realitas Mutlak (Tuhan). Islamisasi tidak mempermasalahkan formulasi F=ma dalam teori gerak Newton, tetapi tafsiran filsafat sains yang menganggap dinamika alam sebagai sesuatu yang mekanistik. Layaknya mesin, alam bekerja sendiri berdasarkan mekanisme sebab dan akibat sehingga menegasikan kehadiran Tuhan. Sekiranya Tuhan memang ada (sesuatu yang diragukan oleh banyak fisikawan dunia), Ia tidak punya peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam. Lalu manusialah yang kemudian menjadi tuhan yang mengendalikan alam. Di sinilah manusia mencabut unsur metafisika religius dari ilmu fisika.

****
Berbeda dengan paham sekular, semua konsep Islam dibangun dalam kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan-Islam mengenai alam. Di dalam Islam, alam bukanlah sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda (ayat) dari kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang meneliti dan mempelajari fisika ia berarti sedang berusaha mengenal Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran 191 : Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”

Ayat di atas menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah SWT. Pada titik inilah fisika dan metafisika Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan (tauhid).

Oleh karena itu di dalam Islam tidak dikenal istilah “fisika untuk fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekedar kesenangan memecahkan misteri alam. Itu sebabnya di sepanjang sejarah Islam kita tidak mengenal ada ilmuwan Muslim yang menjadi anti Tuhan setelah menguasai ilmu fisika, atau ilmu apa pun, karena landasan mempelajarinya berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Allah. Bahkan, para ilmuwan di dunia Islam masa lalu biasanya juga dikenal sebagai orang yang faqih dalam ilmu agama.

Sebaliknya di Barat, tidak sedikit ilmuwan yang semakin tahu tentang alam semakin meragukan keberadaan Tuhan, bahkan menjadi anti Tuhan. Laplace, seorang ahli astronomi Perancis abad ke-18, ketika ditanya Napoleon tentang pemeliharaan Tuhan terhadap alam semesta menjawab, ”Yang Mulia, saya tidak menemukan dimana tempat pemeliharaan Tuhan itu.” Sementara Hawking, fisikawan yang dianggap paling tahu soal kosmologi, sampai sekarang pun masih saja bertanya apakah alam ini memiliki Pencipta, dan kalau ada apakah Ia juga mengatur alam semesta (Brief History of Time).

Di negeri Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris.

Inilah perbedaan utama antara pandangan Islam dan sekular. Melalui sekularisasi, Ilmu Fisika diceraikan dari metafisika Islam. Sedangkan Islamisasi adalah mengembalikan metafisika Islam sebagai ruh Ilmu Fisika, sehingga ilmu ini menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan semata-mata memuaskan keingintahuan manusia terhadap alam. (***)

Minggu, 18 Juli 2010

Pluralisme: Kerancuan Istilah dan Pemahaman

Oleh: Anis Malik Thaha

Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme adalah toleransi” atau “pluralisme agama adalah toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”.

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism” (masing-masing bisa diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other... Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? ... a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding... Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

(Saya usulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang/kelompok)yang lain… Meski tak diragukan lagi toleransi itu selangkah lebih maju daripada intoleransi, ia tidak menuntut orang-orang yang bertetangga baru untuk tahu sedikit pun antara satu dengan lainnya. Toleransi muncul dari pihak yang kuat posisinya. Saya dapat toleran dengan banyak kelompok minoritas jika saya kuat (berkuasa), tapi jika saya sendiri dari kelompok minoritas, apa artinya toleransi? … suatu masyarakat yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif… Toleransi dapat menciptakan iklim pengekangan-diri, tapi bukan iklim (saling) memahami. Toleransi adalah pondasi yang sangat rapuh dan rentan bagi sebuah masyarakat yang beragam agama, dan di dunia dimana kita hidup sekarang ini, ketidak-tahuan kita antara satu dengan lainnya ongkosnya (yang harus dibayar) akan semakin mahal).

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.” (hal. 251)

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan ”iman-kufur”, ”tauhid-syirik”, dalam konsepsi Islam.

Al-Quran jelas menyebut orang mukmin sebagai ”khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut ”syarrul bariyyah” (seburuk-buruk makhluk). Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik). Orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang jelas berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama.

Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas). (***)

Kamis, 15 Juli 2010

Kritik terhadap Paham Pluralisme Agama

Secara garis besar, prularisme adalah pikiran yang menganggap semua agama itu sama. Pikiran ini telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa Negara lainnya. Namun pada awal millenium ini, pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya secara begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah yang baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas social. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengkomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Tapi mengapa pemikiran ini sepertinya menjadi suatu yang tidak sesuai dengan Islam itu sendiri? Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?

Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernism di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Mereka telah banyak meneliti segala aspek dari manusia, termasuk agama yang dianutnya. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajemukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Konsep pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Adanya berbagai macam perbedaan tersebut adalah suatu keniscayaan. Sedangkan yang kedua, (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi—yang mana akan semakin mengaburkan hampir semua batasan.

Solusi terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi megnhadapi pluralisme agama sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program Teologi Global (Global Theology) dan paham Kesatuan Trasenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Dua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain, walaupun keduannya sama-sama menggagas persamaan nilai agama.

Munculnya kedua aliran di atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduannya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat, khususnya para teolog. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntunan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bias dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.

Hamid Fahmy Z. beranggapan bahwa dalam pandangan pluralisme ini nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antara agama, global ethic, Religious Dialogue yang diadakan oleh World Council of Religious dan lembaga lain sangat marak di seluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada tahun 2004. Jurnal missionaries tersebut menurunkan tema pluralisme agama dengan focus dialog Islam Kristen. Sudah tentu di situ framework Barat sangat dominan, framework yang mencerminkan pola budaya mereka. Mereka berpandangan bahwa seiring berjalannya waktu, maka semua agama akan membentuk suatu agama global dan membentuk suatu kesatuan.

Berbeda dengan mkotif aliran yang pertama, yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Aliran ini cenderung mengambil essensi kebaikan dalam setiap agama yang semuannya menuju pada satu arah, yaitu kebenaran trasendental.

Aliran pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.

Solusi yang ditawarkan kedua aliran ini pun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan sasumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick diantara tikihnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies.

Tentu saja, aliran pluralisme ini mengarah pada pengaburan batasan-batasan ajaran agama yang seharusnya dipegang teguh oleh para pemeluknya. Teori teologi global ini tidak dapat secara utuh mengontekstualisasikan dirinya pada agama manapun. Setiap agama memiliki konsep tersendiri tentang ketuhanan, kenabian, wahyu, dan ajaran dari para pendakwahnya. Lalu, bagaimana mungkin setiap agama nantinya dapat disatukan? Lalu, jika kita lihat dari sisi yang sedikit berbeda, maka kita akan menemukan kecenderungan ke arah sekulerisasi, bahkan menuju penghilangan agama-agama dalam kehidupan manusia. Karena dalam pelaksanaannya, aliran ini akan mengganti aturan wahyu Tuhan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dianggap baik dan manusiawi. Padahal dalam Islam, wahyu adalah sumber rujukan hukum yang utama, yang pasti akan menjadi yang terbaik bagi ummat manusia. Pada titik ekstrimnya, ajaran ini akan menghapus semua agama yang ada di dunia dan menggantinya dengan “agama” yang mereka buat sendiri, yang menurut mereka adalah yang sempurna.

Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bias di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bias dilihat hanya dari perspektif sosiologis ataupun historis dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Hikmah al-Khaalidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sacral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama”. Pada akhirnya setiap agama akan mencapai titik temu agama-agama pada level esoteris. Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene Guenon (m. 1951), Fritjhof Schuon (m. 1998), Seyyed Hossein Nasr, dan banyak lainnya.

Pemikiran pluralisme yang kedua ini, secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteric pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain. Pemikiran ini nampaknya di dorong oleh suatu motif agar antar agama-agama yang ada di dunia tidak terjadi pertentangan. Tapi teorinya cenderung membenarkan semua agama. Pembenaran itu bukan berdasarkan suatu yang devine, wahyu, tapi pada pikiran. Padahal Islam adalah agama yang mengajarkan kesalahan yang terdapat pada agama-agama sebelumny. Kesalahan yang ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran Islam, namun dapat diketahui juga historitas berbagai agama tersebut. Dari kalangan agamawan Yahudi dan Kristen, misalnya kita dapati kritik-kritik terhadap aspek eksoterisme dan esoterisme agama mereka secara sangat tajam. Menurut Adnin Armas Ph.D, ini menunjukan bahwa kesalahan yang ditunjukan al-Qur’an tentnag agama itu adalah self-evident.

Selain itu, titik temu antar agama juga tidak terjadi pada level esoretis karena masing-masing agama agama memiliki konsep Tuhan yagn ekslusif atau berbeda satu sama lain pada level esoteric. Kebanyakan dari para tokoh yang menggagas dan mendukung aliran ini adalah berdasarkan pengalaman mereka ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama. Pengalaman itu sendiri tidak dapat dikatakan sebagai agama, karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan pada seluruh manusia, namun hanya diraih oleh elit tertentu setiap agama. Jadi, kesatuan tresenden seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan. Oleh sebab itu, gagasan dari aliran ini, pada level esoteris adalah ‘utopia’.

Dari paparan di atas, bukan berarti penilaian terhadap pluralisme adalah anti-Barat. Tentu saja, kesan tersebut nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada objektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi barat moder dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di timur. Dalam kondisi pemikiran yang prolematik ini—mengutip dari catatan Hamid Fahmy Z.—sangatlah bijaksana jika kita tidak ke barat dan tidak ke Timur, tapi kembali pada Islam.[]

Kamis, 24 Juni 2010

Menanggapi “Pisau” Logika bagi Agama

Dalam suatu diskusi, penulis sempat terlibat dengan suatu pewacanaan masalah logika. Wacana ini sangat menarik untuk diangkat karena letak logika dalam kehidupan manusia adalah hal yang tak dapat dilepaskan dalam menjawab berbagai permasalahan. Hal ini sangat berpengaruh, terutama hubungannya dengan agama, suatu aspek yang paling “sensitive” bagi masyarakat Indonesia. Dan, jika menghubungkannya dengan kemampuan logika, maka banyak hal dari agama yang tak dapat dijawab oleh logika. Mungkin di negeri Barat tidak banyak hal ini dibahas, mengingat bahwa mereka tidak terlalu mempersoalkan masalah yang terjadi dalam perkembangan teologi. Tapi di Indonesia, tentu saja berbeda, karena selama belasan abad masyarakat Indonesia dibesarkan dan banyak diatur oleh agama. Namun, dalam hal ini bukanlah masalah adanya posisi agama dalam masyarakat timur ataupun barat, yang dipermasalahkan adalah bagaimana logika atau akal manusia menjadi senjata manusia untuk membunuh agama manusia itu sendiri.

Logika adalah suatu langkah bagi manusia untuk menggunakan akal dalam menyelesaikan berbagai hal. Tentu saja akal menusia begitu memiliki peran pentung dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan yang akhirnya akan berimbas pada membangun peradaban. Namun, tidak dapat disangkal pula bahwa logika manusia tidak sempurna dalam menjelaskan segala sesuatu. Menjelaskan berbagai hal yang non-material tidak dapat dilakukan lewat logika. Bahkan, emosi manusia juga sering memengaruhi setiap wacana yang dikemukakan. Sehingga, hal yang begitu emosional dapat dilogiskan lewat retorika yang seakan-akan menghipnotis para pendengarnya.

Terlepas dari masalah peretorikan logika atau akal dalam masalah rasional atau irasional, Islam begitu sangat menghormati posisi akal, melebihi agama-agama lain. Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya. Dalam al-Qur'an, kata-kata yang berakar pada 'aql bertaburan di berbagai surat. Kata-kata: afalaa ta’qiluun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?) terulang dalam al-Al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qiluun (agar kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilËn (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluuna bihaa, ya'qiluhaa, takuunuu ta'qiluun, dsb. Penghargaan terhadap akal yang sedemikian agung dalam Islam, bukan berarti akal dibiarkan bebas berkelana liar tanpa batas dan arahan, terutama saat berhadapan dengan ketentuan wahyu.

Memang benar, jika dikatakan bahwa kebanyakan manusia akan menggunakan akalnya memutuskan bahwa suatu hal dikatakan benar atau salah. Hal tersebut adalah sangat wajar dan bahkan menjadi suatu tuntutan dasar bagi manusia untuk menemukan kebenaran. Tapi banyak hal yang membuat akal tersebut tidak akan menemukan kepastian dalam proses berfikirnya. Akan sangat sulit bagi setiap kepala mengeneralisir fakta-fakta yang ada dengan sama persis. Hal ini dikarenakan bahwa setiap manusia memiliki alam sosial yang berbeda dan memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Lingkungan sosial akan memengaruhi pikiran dari manusia, sehingga akan sangat sulit—bahkan tidak mungkin—seorang akan mendapatkan kesimpulan pengetahuan yang objektif dan bebas dari pengaruh pola-pola konseptual pada tempat dan waktu yang bersangkutan. Ini tentu sangat subnjektif.

Lalu timbul pertanyaan, logika adala salah satu alat untuk mendapatkan suatu kebenaran, yang mana akan berlaku bagi manusia yang lain, jadi bagaimana bisa penulis malah menyangkut-pautkannya dengan subjektifitas manusia? Bukankah setiap manusia memiliki kemampuan berlogika, dan jika logikanya benar maka akan menuju satu arah yang sama? Inilah masalahnya, tidak semua manusia memiliki kemampuan akal dan logika yang sama. Sehingga masing-masing dari manusia itu tidak akan mengetahui mana yang menjadi “kebenaran” yang benar, karena mereka akan membentuk klaim-klaim sendiri. Tidak ada jaminan bahwa manusia yang lebih pintar logika atau pengakalannya akan dapat memengaruhi manusia yang bodoh. Sebaliknya, sangat tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang logikannya dangkal tidak akan dapat memengaruhi banyak manusia lainya. Hanya dengan penyajian kata-kata atau symbol yang baik di mata manusia yang lain, maka hasil penglogikaan akan mudah diterima. Kejadian seperti ini sudah banyak terjadi di lingkungan kita. Jadi, artinya adalah logika tidak dapat mengantarkan seluruh manusia pada satu titik kebenaran.

Lalu, bagaimana hubungannya dengan agama? Hubungannya sudah sangat jelas, manusia tidak akan lepas dari akal dan manusia pun akan selalu membutuhkan agama, apapun bentuknya (atheis pun dapat dikategorikan orang yang beragama atau beraliran karena keatheisannya). Dalam hal ini, logika benar-benar ibarat pisau. Tapi bukan pisau seperti yang biasa kita tafsirkan, bahwa “logika adalah pisau, maka tergantung dari siapa saja yang memegangnya. Jika logika itu digunakan oleh orang jahat, maka hasilnyapun akan jahat, dan jika dipegang oleh orang baik, maka hasilnya pun akan baik”. Bukan seperti itu, melainkan akan menjadi lebih rumit lagi. Bagaimana seorang yang memiliki agama, ternyata meragukan kembali agamanya berkat logika yang ia pakai. Lalu, penganut suatu agama menyerang agama lain dengan logika yang ia pakai.

Logika memang ibarat pisau, tapi ia berada berdiri tegak di suatu kerumunan orang yang tidak terkendali. Siapapun yang dapat mengambil pisau itu terlebih dahulu, maka ia akan dapat melukai yang lain, sehingga orang lain harus kembali mencari pisau di tempat yang lain atau akan terbunuh dengan perlahan. Dalam kasus lain adalah jika salah seorang salah cara mengambil pisaunya, maka ia akan terluka sendiri. Artinya adalah, siapapun yang telah menemukan alasan logis tentang agama lain, maka ia akan dapat menyerang agama tersebut dengan membabi-buta. Begitu juga ketika seseorang salah menggunakan logika atau sumber ilmu yang ia dapat, maka akan sangat memungkinkan terjadi suatu keraguan yang mendalam terhadap agama yang ia anut sendiri. Padahal, agama adalah bersifat dogmatis dan memang tidak dapat dilogikakan secara sederhana.

Hal-hal di atas menemukan bahwa adanya keterbatasan dan kecacatan dari logika itu sendiri. Ia tidak dapat mejawab alasan-alasan dari perintah agama yang harus dilaksanakan oleh kaum yang beriman. Keimana akan lebih sesuai jika dirasakan oleh hati, benda yang langsung tersentuh oleh sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Banyak bukti keberadaan Tuhan, namun tidak dapat ditentang oleh logika manusia. Jangankan untuk itu, untuk menyamakan kebenaran dari kesimpulan sehingga kesimpulan tersebut adalah objektif, akal atau logika mansia pun tidak mampu. Menjadi masalah besar adalah saat ini banyak manusia yang mendewakan logika dan akal, seakan-akan akal adala sumber dari segala kebenara, melebihi agama. Mereka tidak menggungakan iman sebagai landasan berfikir

Akal adalah pemberian Tuhan untuk digunakan manusia menjawab segala yang terjadi dan mengembangkan peradaban pada tahap yang lebih tinggi dan sejahtera. Namun sayangnya, iman kepada tuhan tidak menjadi landasan bagi mereka. Mereka mengambil segala kerasionalan yang dianggap oleh mereka adalah rasional dan benar, lalu meninggalkan segala bentuk yang irasional. Maka terbentuklah lingkungan sekuler diantara manusia. Ketika keimanan telah menjadi landasan dalam berfikir, maka akal manusia akan dapat membangun peradaban manusia yang ideal. Itulah tempat sebenarnya akal itu berada dan memiliki fungsi yang sebenarnya. Wallāhu a’lam bissawāb []

Kamis, 10 Juni 2010

Arti Sains Islam

Memahami sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam itu tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebagai sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini diatarbelakangi oleh suatu kondisi di mana sains Barat modern dengan globalisasi, Westernisasi dan berbagai macam fahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Prof. al-Attas sebagai loss of adab yang juga loss of identity. Bahkan diantaranya umat Isam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sains, takut dan malu terhadap identitas Islam dan bahkan mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi dsb. Padahal, ketika manusia menyebut “sains modern” atau sains Barat, tanpa disadari, ia telah meletakan identitas pada sains tersebut, yait sains yang diproduksi oleh ideology, kepercayaan, dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dalam ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dsb.


Dampak dari hilangnya identitas dapat diamati dari pernyataan Jamaludin al-Afghani:

“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan pengetahuan, dan tidak ada ketidak-sesuaian antara sains dan ilmu pengetahuan dengan dasar-dasar agama.”


Sikap al-Afghani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan, karya Tuhan tidak akan bertentangan kata atau firman-Nya. Dengan nada yang sedikit berbeda, Fazlur Rahman pun setuju. Baginya, ilmu itu netral, tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Namun dari ketiga tokoh tersebut tidak menjelaskan atau mungkin tidak menyadari bahwa sains yang dipelajari pada abad 19 dan 20 ini adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia Barat yang sekuler.


Sikap-sikap diatas diartikan oleh Seyyed Hosein Nasr sama dengan menganggap bahwa sains Barat sama dengan sains Islam, dengan alasan bahwa sains barat itu adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains Barat itu, tidak menyadari bahwa setelah diterjemahkan, sains Islam telah dimodifikasi dan disekulerkan. Sehingga sains modern merupakan hasil dari filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigma dari Islam.


Selain itu, banyak pula Muslim yang menganggap bahwa sains itu adalah bebas nilai. Jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya perubaha paradigma, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti dengan sains lainnya, itu berdasarkan pada sistem nilai dan pandangan hidup tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terahadap realitas fisik, subyek yang mengalami realitas itu dan hubungan keduannya. Maka, Ziauddin Sadar mnyatakan bahwa:

“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islam. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”


Sementara identitas sains Barat, seperti disinyalir Mayam Jameelah “sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya dan bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.” Jadi sains Barat itu tidak netral dan sudah tentu berbeda dari sains Islam.


Sains Barat dianggap netral karena mereka terebas dari agama. Tuhan tidak dijadikan suatu pertimbangan dalam sains Barat, karena dianggap tidak riel. Namun, sains tidak terlepas dari ideologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Pada akhrnya, dalam sains sendiri ternyata menciptakan suatu doktrin-doktrin yang tidak beda dengan agama, lalu doktrin-doktrin dianggap menjadi hal yang pasti dan bertentangan dengan doktrin dari agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Agama menjadi terpojok, dimarginalkan, bahkan dipertentangkan, dan akhirnya ditinggalkan.


Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup keuannya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika dan agama berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam situasi ini, maka pertemuan diantara keduannya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktannya bahwa sains dari barat ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup Islam. Sains Barat meletakan akal lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama dan bahkan meninggalkan agama.


Prof. Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa al-Qur’an dan Hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki struktur konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam. Secara kronologis, perjalanan dari al-Qur’an menjadi dislplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama adalah worldview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual di mana aktivitas keilmuan dikembangkan; kedua adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai ‘struktur konsep keilmuan’ (scientific conceptual scheme); dan ketiga adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan ‘struktur konsep keilmuan khusus’ (specific scientific conceptual scheme).


Adi Setia lebih memperjelas identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasikan pertama-tama melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis Muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Sina, al-Khwarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan Pandangan Hidup Islam.


Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga adalah upaya-upaya ilmuwan Muslim untuk merumuskan kembalikonsep-konsep sains Islam dengan tujuan untuk menghasilkan definisi, metodologi, paradigma keilmuan Islam yang dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan batin.


Dengan pemaparan diatas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektif. Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan Islamdengan konsep worldview, kita telah dapat mengenal identitas sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang pada alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu,tata nilai dan moralitas berbeda dari cara pandang Barat. Menurut Pandangan Hidup Islam, alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Franz Rosenthal berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (akhlak). Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas.


Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “I felt the need to leave behind all the books I read on order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya pada Tuhan), maka―meminjam istilah Hamid Fahmy Zarkasyi―bagi Muslim tentu harus berkata: “Saya perlu meninggalkan semua buku yang saya baca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya pada Tuhan”. Kalau Kant memilih logika either or, mamilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan Ilmu dan Tuhan. Wallāhu a’lam bissawāb.[]

Melihat Kembali Identitas Politik Islam

“Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al Hajj, 41)

Istilah politik (politics) sering dikaitkan dengan bermacam-macam kegiatan sampai dalam sistim politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan tujuan sampai dalam melaksanakan tujuan tersebut. Disamping itu, juga menyangkut pengambilan keputusan (decision making) tentang apakah yang menjadi tujuan sistim politik yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif serta penyusunan untuk membuat skala prioritas dalam menentukan tujuan-tujuan itu.

Seperti ilmu-ilmu lain dalam Islam, ilmu atau teori politik Islam bersumber dan diderivasi dari Al-Qur’an. Mungkin ini dianggap berlebihan, tapi sebenarnya tidak. Sebab politik menyangkut banyak bidang kehidupan sosial termasuk politik. Meski ayat-ayat itu baru berupa seminal konsep, namun jika dipahami dengan penalaran yang cerdas akan menemukan prinsip luhur berpolitik. Konsep-konsep seminal dalm ayat-ayat itu berkaitan antara satu dengan yang lain dan membentuk struktur konsep yang sistemik. Sebagai contoh, konsep khaliafah di bumi (Q.S. Al-Baqarah, 30; An-Nur, 55; An-Naml, 62; As-Sad, 26; Al-An’am, 165), berkaitan erat dengan konsep hukum dan keadilan (Q.S. An-Nisa, 58, 105, 135; Al-Maidah, 6) dan juga kepemimpinan (Q.S. Ali Imran, 118; An-Nisa, 49; As-Syu’ara, 150-152). Masalah kepemimpinan berkaitan dengan masalah musyawarah (Q.S. Ali Imran, 159). Prinsip persatuan dan persaudaraan (Q.S. Ali Imran, 103; Al Hujurat, 10) berkaitan dengan prisnsip persamaan (Q.S. An-Nisa, 1), tolong menolong, membela yang lemah (Q.S. Al-Maidah, 2; At-Taubah, 11), perdamaian dan peperangan (Q.S. An-Nisa, 89-90) dan lain sebagainya yang sangat komplek.

Pembaca awam terhadap ayat-ayat tersebut tentu tidak akan menemukan perintah eksplisit wajibnya melaksanakan atau mewujudkan politik Islam. Tapi perintah-perintah untuk menaati pemimpin, bermusyawarah, melaksanakan hokum, berlaku adil, amanah dan bertanggung jawab serta prinsip moral sosial lainnya dapat dipahami sebagai perintah implisit dan bahkan bisa wajib hukumnya. Perintah untuk mendirikan atau mewujudkan sekolah, universitas atau ekonomi Islam juga tidak secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur’an, tapi mencari ilmu dan berakhlaq mulia serta makan harta halal adalah wajib. Sarana untuk menjalankan yang wajib hukumnya adalah wajib pula. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. mendirikan Negara Madinah sebagai sarana untuk melaksanakan perintah yang lain (disebut sebagai Siyasat-ur-Rasul).

Siyasah sebagai Jalan Politik Islam

Istilah teknis untuk menjalankan perintah-perintah itu baik yang berasal dari Al-Qur’an atau yang tidak disebut siyasah. Istilah ini dapat berarti mengatur, mengurus dan memerintah, dan dapat juga berarti pemerintah dan politik atau membuat kebijaksanaan. Ibn Aqil secara tegas mengatakan bahwa yang disebut siyasah adalah perbuatan yang membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan menghindarkan diri dari kerusakan walaupun Rasul tidak menetapkannya dan Allah tidak mewajibkannya. Secara umum, siyasah dapat disamakan dengan politik.

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, praktek Nabi di Madinah, sebenarnya telah dapat diformulasikan menjadi teori politik Islam. Bahkan di zaman para sahabat yang mengalami beberapa konflik itu pun masih dapat dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam Islam dan dapat dibingkai dalam system politik Islam. Terlepas dari terjadinya konflik, perlu digaris bawahi, bahwa semua kelompok yang bertikai sama-sama mempertahankan prisnsip-prinsip syariah dan bukan karena ambisi kekuasaan dan kepentingan yang bersifat pribadi atau materi. Jika tidak, tentu hadith Nabi yang mensinyalir bahwa sebaik-baik zaman adalah zaman Nabi, kemudian zaman Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in menjadi tidak masuk akal.

Di zaman terbaik itu, khususnya sesudah Nabi wafat, masalah politik Islam yang paling menonjol dan mengemuka adalah konsep kepemimpinan (imamah, khilafah, bay’ah), sehingga sering dibahas oleh para ulama. Ini tidak lepas dari karakter masyarakat Islam yang meletakkan peran pemimpin begitu sentral dan menentukan. Peristiwa di Tsaqifah Bani Saidah adalah pelaksanaan syura pertama dalam Islam sesudah Nabi wafat dan merupakan tonggak penting bagi sejarah politik Islam, karena di sana disepakati siapa yang menjadi pemimpin pengganti (khalifah) Rasulullah.

Dalam perjalanan sejarah, banyak pemikir Muslim yang membahas masalah politik dan Negara, diantaranya adalah Al-Farabi, Al-Baqillani, Al-Ghazzali, Ibn Tamiyah, Ibn Khaldun dsb. Para pemikir Islam tersebut memiliki pandangan yang khas terkait masalah politik, namun terdapat satu perhatian besar bagi mereka, yakni masalah kepemimpinan dan ikatannya dengan Islam. Ghazzali berpendapat bahwa Negara adalah institusi yang haru ada, tanpanya kehidupan dan peradabannya akan kacau. Negara ini pun tergantung pada faktor kepemimpinannya.

Bagaimana suatu Negara menjaga masyarakat berdasarkan ideologinya ditentukan oleh keterampilan berpolitik pemimpinanya. Itulah sebabnya Al-Ghazzali menganggap politik sebagai skill yang terpenting dan paling mulia (afdal) dibanding keterampilan lain, seperti berdagang. Inilah yang melatarbelakangi mengapa konsep kepemimpinan juga menjadi perhatian khusus Ghazzali. Termasuk dalam bab kepemimpinan ini, Ghazzali juga membahas organisasi dan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab memegang amanah itu. Tidak beda dari ulama lainnya, pemimpin dalam konsep Ghazzali harus dipilih berdasarkan prinsip Syari’ah. Landasan mengapa pemimpin dan keterampilan berpolitik serta moralitasnya sangat penting dalam Islam merujuk pada keteladanan Rasulullah sendiri. Nabi tidak bisa hanya dianggap sebaga pemimpin agama yang mengurus mesjid dan ritual peribadatan saja. Nabi adalah kepala Negara Madinah, pemimpin perang, pengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang serta pelindung mereka.

Citra Politik Islam

Belakangan ini, citra poltik Islam tampak di mata dunia tidak lebih dari serial panjang kekejaman, kebiadaban, barbarism, dan kekacauan. Citra buruk seperti itu selama beberapa abad telah mengendap di sebagian besar benak masyarakat dunia, terutama di masyarakat Barat. Tampaknya, Barat dalam konteksnyadengan dunia Islam, tidak pernah mengalami pengenduran dalam upayannya membentuk dan sekaligus mengendepankan citra buruk Islam dan kaum Muslimin ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Tidak banyak yang tertarik mengkaji dan menggali teori politik Islam dari praktek kehidupan politik di masa lalu. Bukan hanya itu, praktek politik di Negara-negara Islam juga tidak selalu mengacu kepada teori politik yang telah dibangun para ulama di masa lalu. Latar belakang ini semua tidak lari dari dua faktor: faktor internal umat Islam yang kehilangan dinamika tradisi keilmuan mereka dan faktor eksternal yang disebabkan oleh derasnya arus pemikiran Barat yang menghegemoni pemikiran dan praktek politik Islam.

Hal di atas senada dengan pendapat Abu Ridho yang menyatakan bahwa upaya pembentukan dan pengendapan citra buruk terhadap Islam itu bukan tidak disengaja, bahkan sebagiannya justru dijadikan sebagai musuh bersama dunia yang tujuannya selain kolonialisme dan imperialism juga sebagai pelampiasan dendam. Meski tidak menutup mata, bahwa sebagian lagi disebabkan oleh kurangnya pemahaman non-Muslim tentang konsep-konsep Islam, termasuk konsep politik Islam, atau dikarenakan gagalnya kaum Muslimin menampilkan citra politiknya yang orisinal di zaman modern sekarang ini.

Memang, pada mulannya Muslim berkeyakinan bahwa Islam itu adalah politik. Namun ketika konsep-konsep dan faham-faham politik Barat sekuler itu bercampur dengan atau menggantikan konsep dan paham yang telah dimiliki oleh dunia Timur, Muslim mengalami kebingungan konseptual, konflik internal dan konflik identitas. Akibat yang kini banyak bermunculan adalah kalangan “cendikiawan” Muslim yang cenderung untuk mengidentikan Islam dengan setiap bentuk teori politik modern, betapapun di dalam substansi atau hakekatnya terdapat berbagai kerancuan dan ketidak-sesuaian. Bahkan Muslim justru mengagungkan sistim politik Barat dan membuang warisan sistim politik Islam dengan ala-Barat itu berasal dari Islam atau pengembangan dari yang dimiliki umat Islam.

Dalam realita, hal tersebut memang terjadi. Misalnya saja, ketika komunisme dan sosialisme menjadi suatu alternatif sistim ekonomi, sosial, dan politik untuk seluruh dunia, beberapa kalangan dalam Islam menyatakan bahwa sosialisme tersebut adalah sistim yang Islami. Begitu pula dengan ideologi nasionalisme yang merebak untuk mengusir para penjajah, dijustifikasi berasal dari Islam. Ada pula ketika wacana konsep Negara Sekuler mendominasi pemikiran Muslim, maka politik Islam dalam aturan Negara dianggap bersistem teokrasi, dan tidak ada penjelasan terhadap bagaimana system itu harus berjalan. Lebih parah lagi, yang lain menyatakan bahwa tidak ada sistim politik dalam Islam. Tidak ada perintah mendirikan Negara dalam Al-Qur’an. Itu semua hanya dalam bentuk respon-respon yang emosional atau apologetik. Hal tersebut merupakan buah dari usaha Barat yang merusak tatanan yang telah ada dalam Islam. Di Indonesia telah terjadi sejak masa Penjajahan Belanda, dan hingga kini masih terasa adanya upaya-upaya mengkaburkan politik dalam Islam. Bahkan, nilai-nilai Islam yang seharusnya terkandung dalam aktifitas politik, dianggap tidak perlu ada.

Demokrasi: Benarkah sebagai Kebanggaan?

Kini yang menjadi kiblat utama dalam politik Negara-negara dunia adalah demokrasi. Dapat dipahami memang ketika banyak Negara-negara di dunia yang mengagungkan demokrasi, terlepas dari ideologinya apa. Misalnya, Negara liberal dengan pasti akan menganggap demokrasi adalah hal yang harus ada dalam system politik Negara, karena mencerminkan kebebasan dan turut sertanya masyarakat dalam beraktifitas politik. Di sisi dunia lain, Negara yang berideologi komunis-sosialis, mengklaim pula bahwa Negara mereka adalah Negara yang menganut paham demokrasi, padahal konsep demokrasi adalah buah dari kapitalisme, suatu paham yang sangat mereka benci. Alasan mereka adalah karena kekayaan Negara telah diberikan sama rata bagi seluruh rakyat. Begitu pula Negara lainnya yang mengklaim mereka adalah Negara demokrasi.

Sepertinya demokrasi telah menjadi mekanisme atau bahkan menjadi tujuan sempurna dari politik kebanyakan Negara di dunia. Nilai-nilai luhur demokrasi yang begitu dianggap ideal dan benar bagi setiap ideologi Negara, didengungkan dengan aplikasi yang berbeda-beda pula. Jadi, penilaian terhadap demokrasi tidak akan terlepas dari ideologi Negara. Jika seperti itu, maka sebenarnya tidak ada penjelasan yang utuh dan pasti mengenai demokrasi, karena nilai luhurnya diimplikasikan lewat mulut ideologi. Dan, jika seperti itu, maka demokrasi itu tidak ada. Sepertinya konsep demokrasi hanya dipakai oleh sebagian besar Negara di dunia hanya dijadikan label.

Plato (429-347 SM) dan Muhammad Iqbal pun mengkritik demokrasi, terutama demokrasi ala Indonesia. Diantaranya adalah tidak dapat menyeleksi pimpinan yang berkualitas. Dengan demokrasi pemimpin yang dipilih hanya berdasrkan pada non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga. Menurut Plato, pemimpin yang hebat adalah yang mengerti wisdom dan memimpin dengan wisdom yang diperoleh dari ide yang sempurna. Iqbal beranggapan bahwa dari ribuan semut tidak akan melahirkan seorang Sulaiman, dan dari ratusan keledai, tidak akan melahirkan pemikiran manusia.

Dalam hal ini penulis bukan ingin menyalahkan demokrasi atau menolak demokrasi, tapi lebih kepada usaha penyadaran nilai dari konsep yang biasa kita dengungkan. Tidak perlu kita terlalu bertekad dengan meneriakan “demokrasi” dalam tiap langkah kita membangun negeri. Karena Negara Indonesia telah sangat demokratis, sampai menghina Presiden pun dianggap hal yang heroik. Ada hal lain yang lebih pantas kita suarakan dan kembangkan. Demokrasi hanya menjadi jalur bebas bagi kita yang memberikan kesempatan bagi kita untuk berjalan menuju tujuan dengan leluasa.

Usaha Memahami Identitas Politik Islam Kembali

Mengingat bahwa konsep-konsep politik yang kita pahami banyak berasal dari Barat Sekuler, maka mestinya terdapat usaha dewesternisasi dan desekulerisasi. Uasaha ini bukan merupakan tindakan rasis, tapi merupakan proses epistemologis yang berkutat pada masalah konsep. Oleh karena itu, Muslim tidak seharusnya menolak atau menerima suatu konsep asing manapun kecuali telah benar-benar mengetahui konsep-konsep tersebut dan setelah benar-benar mengenal dan menguasai konsep-konsep fundamental dalam Islam. Namun masalahnya, para cendikiawan Muslim yang menguasai teori politik modern seperti hanyut dalam status quo sistim politik Barat. Tidak banyak, atau kalau boleh dikatakan tidak ada, cendikiawan Muslim yang berani keluar dari pakem sistim politik Barat dan memberi alternatif yang dapat diterima oleh masyarakat atau yang dapat menyadarkan masyarakat perlunya alternatif politik baru, Islam tentunya. Ini suatu kerja yang tidak sebentar dan tidak sederhana, namun perlu dimulai segera!

Singkatnya identifikasi sistim politik Islam hanya dapat dilakukan dengan Islam (Islamic worldview) yang dipancarkan oleh Al-Qur’an dan diperjelas oleh Nabi serta dipraktekkannya. Semua itu diperkaya dengan praktek para sahabat dan wacana para ulama sesudahnya. Jika sistim politik Islam telah ditemukan identitasnya maka langkah selanjutnya adalah melakukan upaya pengembangannya secara konseptual. Hamid Fahmy Z. menawarkan langkah pengembangannya, proses awal adalah mengevaluasi secara kritis sistim politik Barat Sekuler, kemudian menganalisa aspek-aspek politik Islam yang tidak compatible dengan Islam untuk dibuang dan aspek-aspek yang compatible untuk diadopsi. Aspek-aspek yang compatible itu kemudian diintegrasikan dengan aspek-aspek politik Islam, diuji validitasya, untuk akhirnya dilakukan proses Islamisasi dimana konsep-konsep sentralnya benar-benar dominan, sehingga tidak lagi dapat disebut kecuali sistim atau teori politik Islam. Tapi ini belum selesai, ia perlu satu lagi, yaitu sosialisasi konsep. Sebab tanpa proses ini orang-orang yang tidak mengenal Islam dengan baik akan memusuhi dan menolaknya.[]