Kamis, 24 Juni 2010

Menanggapi “Pisau” Logika bagi Agama

Dalam suatu diskusi, penulis sempat terlibat dengan suatu pewacanaan masalah logika. Wacana ini sangat menarik untuk diangkat karena letak logika dalam kehidupan manusia adalah hal yang tak dapat dilepaskan dalam menjawab berbagai permasalahan. Hal ini sangat berpengaruh, terutama hubungannya dengan agama, suatu aspek yang paling “sensitive” bagi masyarakat Indonesia. Dan, jika menghubungkannya dengan kemampuan logika, maka banyak hal dari agama yang tak dapat dijawab oleh logika. Mungkin di negeri Barat tidak banyak hal ini dibahas, mengingat bahwa mereka tidak terlalu mempersoalkan masalah yang terjadi dalam perkembangan teologi. Tapi di Indonesia, tentu saja berbeda, karena selama belasan abad masyarakat Indonesia dibesarkan dan banyak diatur oleh agama. Namun, dalam hal ini bukanlah masalah adanya posisi agama dalam masyarakat timur ataupun barat, yang dipermasalahkan adalah bagaimana logika atau akal manusia menjadi senjata manusia untuk membunuh agama manusia itu sendiri.

Logika adalah suatu langkah bagi manusia untuk menggunakan akal dalam menyelesaikan berbagai hal. Tentu saja akal menusia begitu memiliki peran pentung dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan yang akhirnya akan berimbas pada membangun peradaban. Namun, tidak dapat disangkal pula bahwa logika manusia tidak sempurna dalam menjelaskan segala sesuatu. Menjelaskan berbagai hal yang non-material tidak dapat dilakukan lewat logika. Bahkan, emosi manusia juga sering memengaruhi setiap wacana yang dikemukakan. Sehingga, hal yang begitu emosional dapat dilogiskan lewat retorika yang seakan-akan menghipnotis para pendengarnya.

Terlepas dari masalah peretorikan logika atau akal dalam masalah rasional atau irasional, Islam begitu sangat menghormati posisi akal, melebihi agama-agama lain. Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya. Dalam al-Qur'an, kata-kata yang berakar pada 'aql bertaburan di berbagai surat. Kata-kata: afalaa ta’qiluun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?) terulang dalam al-Al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qiluun (agar kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilËn (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluuna bihaa, ya'qiluhaa, takuunuu ta'qiluun, dsb. Penghargaan terhadap akal yang sedemikian agung dalam Islam, bukan berarti akal dibiarkan bebas berkelana liar tanpa batas dan arahan, terutama saat berhadapan dengan ketentuan wahyu.

Memang benar, jika dikatakan bahwa kebanyakan manusia akan menggunakan akalnya memutuskan bahwa suatu hal dikatakan benar atau salah. Hal tersebut adalah sangat wajar dan bahkan menjadi suatu tuntutan dasar bagi manusia untuk menemukan kebenaran. Tapi banyak hal yang membuat akal tersebut tidak akan menemukan kepastian dalam proses berfikirnya. Akan sangat sulit bagi setiap kepala mengeneralisir fakta-fakta yang ada dengan sama persis. Hal ini dikarenakan bahwa setiap manusia memiliki alam sosial yang berbeda dan memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Lingkungan sosial akan memengaruhi pikiran dari manusia, sehingga akan sangat sulit—bahkan tidak mungkin—seorang akan mendapatkan kesimpulan pengetahuan yang objektif dan bebas dari pengaruh pola-pola konseptual pada tempat dan waktu yang bersangkutan. Ini tentu sangat subnjektif.

Lalu timbul pertanyaan, logika adala salah satu alat untuk mendapatkan suatu kebenaran, yang mana akan berlaku bagi manusia yang lain, jadi bagaimana bisa penulis malah menyangkut-pautkannya dengan subjektifitas manusia? Bukankah setiap manusia memiliki kemampuan berlogika, dan jika logikanya benar maka akan menuju satu arah yang sama? Inilah masalahnya, tidak semua manusia memiliki kemampuan akal dan logika yang sama. Sehingga masing-masing dari manusia itu tidak akan mengetahui mana yang menjadi “kebenaran” yang benar, karena mereka akan membentuk klaim-klaim sendiri. Tidak ada jaminan bahwa manusia yang lebih pintar logika atau pengakalannya akan dapat memengaruhi manusia yang bodoh. Sebaliknya, sangat tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang logikannya dangkal tidak akan dapat memengaruhi banyak manusia lainya. Hanya dengan penyajian kata-kata atau symbol yang baik di mata manusia yang lain, maka hasil penglogikaan akan mudah diterima. Kejadian seperti ini sudah banyak terjadi di lingkungan kita. Jadi, artinya adalah logika tidak dapat mengantarkan seluruh manusia pada satu titik kebenaran.

Lalu, bagaimana hubungannya dengan agama? Hubungannya sudah sangat jelas, manusia tidak akan lepas dari akal dan manusia pun akan selalu membutuhkan agama, apapun bentuknya (atheis pun dapat dikategorikan orang yang beragama atau beraliran karena keatheisannya). Dalam hal ini, logika benar-benar ibarat pisau. Tapi bukan pisau seperti yang biasa kita tafsirkan, bahwa “logika adalah pisau, maka tergantung dari siapa saja yang memegangnya. Jika logika itu digunakan oleh orang jahat, maka hasilnyapun akan jahat, dan jika dipegang oleh orang baik, maka hasilnya pun akan baik”. Bukan seperti itu, melainkan akan menjadi lebih rumit lagi. Bagaimana seorang yang memiliki agama, ternyata meragukan kembali agamanya berkat logika yang ia pakai. Lalu, penganut suatu agama menyerang agama lain dengan logika yang ia pakai.

Logika memang ibarat pisau, tapi ia berada berdiri tegak di suatu kerumunan orang yang tidak terkendali. Siapapun yang dapat mengambil pisau itu terlebih dahulu, maka ia akan dapat melukai yang lain, sehingga orang lain harus kembali mencari pisau di tempat yang lain atau akan terbunuh dengan perlahan. Dalam kasus lain adalah jika salah seorang salah cara mengambil pisaunya, maka ia akan terluka sendiri. Artinya adalah, siapapun yang telah menemukan alasan logis tentang agama lain, maka ia akan dapat menyerang agama tersebut dengan membabi-buta. Begitu juga ketika seseorang salah menggunakan logika atau sumber ilmu yang ia dapat, maka akan sangat memungkinkan terjadi suatu keraguan yang mendalam terhadap agama yang ia anut sendiri. Padahal, agama adalah bersifat dogmatis dan memang tidak dapat dilogikakan secara sederhana.

Hal-hal di atas menemukan bahwa adanya keterbatasan dan kecacatan dari logika itu sendiri. Ia tidak dapat mejawab alasan-alasan dari perintah agama yang harus dilaksanakan oleh kaum yang beriman. Keimana akan lebih sesuai jika dirasakan oleh hati, benda yang langsung tersentuh oleh sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Banyak bukti keberadaan Tuhan, namun tidak dapat ditentang oleh logika manusia. Jangankan untuk itu, untuk menyamakan kebenaran dari kesimpulan sehingga kesimpulan tersebut adalah objektif, akal atau logika mansia pun tidak mampu. Menjadi masalah besar adalah saat ini banyak manusia yang mendewakan logika dan akal, seakan-akan akal adala sumber dari segala kebenara, melebihi agama. Mereka tidak menggungakan iman sebagai landasan berfikir

Akal adalah pemberian Tuhan untuk digunakan manusia menjawab segala yang terjadi dan mengembangkan peradaban pada tahap yang lebih tinggi dan sejahtera. Namun sayangnya, iman kepada tuhan tidak menjadi landasan bagi mereka. Mereka mengambil segala kerasionalan yang dianggap oleh mereka adalah rasional dan benar, lalu meninggalkan segala bentuk yang irasional. Maka terbentuklah lingkungan sekuler diantara manusia. Ketika keimanan telah menjadi landasan dalam berfikir, maka akal manusia akan dapat membangun peradaban manusia yang ideal. Itulah tempat sebenarnya akal itu berada dan memiliki fungsi yang sebenarnya. Wallāhu a’lam bissawāb []

Kamis, 10 Juni 2010

Arti Sains Islam

Memahami sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam itu tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebagai sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini diatarbelakangi oleh suatu kondisi di mana sains Barat modern dengan globalisasi, Westernisasi dan berbagai macam fahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Prof. al-Attas sebagai loss of adab yang juga loss of identity. Bahkan diantaranya umat Isam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sains, takut dan malu terhadap identitas Islam dan bahkan mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi dsb. Padahal, ketika manusia menyebut “sains modern” atau sains Barat, tanpa disadari, ia telah meletakan identitas pada sains tersebut, yait sains yang diproduksi oleh ideology, kepercayaan, dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dalam ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dsb.


Dampak dari hilangnya identitas dapat diamati dari pernyataan Jamaludin al-Afghani:

“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan pengetahuan, dan tidak ada ketidak-sesuaian antara sains dan ilmu pengetahuan dengan dasar-dasar agama.”


Sikap al-Afghani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan, karya Tuhan tidak akan bertentangan kata atau firman-Nya. Dengan nada yang sedikit berbeda, Fazlur Rahman pun setuju. Baginya, ilmu itu netral, tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Namun dari ketiga tokoh tersebut tidak menjelaskan atau mungkin tidak menyadari bahwa sains yang dipelajari pada abad 19 dan 20 ini adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia Barat yang sekuler.


Sikap-sikap diatas diartikan oleh Seyyed Hosein Nasr sama dengan menganggap bahwa sains Barat sama dengan sains Islam, dengan alasan bahwa sains barat itu adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains Barat itu, tidak menyadari bahwa setelah diterjemahkan, sains Islam telah dimodifikasi dan disekulerkan. Sehingga sains modern merupakan hasil dari filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigma dari Islam.


Selain itu, banyak pula Muslim yang menganggap bahwa sains itu adalah bebas nilai. Jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya perubaha paradigma, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti dengan sains lainnya, itu berdasarkan pada sistem nilai dan pandangan hidup tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terahadap realitas fisik, subyek yang mengalami realitas itu dan hubungan keduannya. Maka, Ziauddin Sadar mnyatakan bahwa:

“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islam. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”


Sementara identitas sains Barat, seperti disinyalir Mayam Jameelah “sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya dan bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.” Jadi sains Barat itu tidak netral dan sudah tentu berbeda dari sains Islam.


Sains Barat dianggap netral karena mereka terebas dari agama. Tuhan tidak dijadikan suatu pertimbangan dalam sains Barat, karena dianggap tidak riel. Namun, sains tidak terlepas dari ideologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Pada akhrnya, dalam sains sendiri ternyata menciptakan suatu doktrin-doktrin yang tidak beda dengan agama, lalu doktrin-doktrin dianggap menjadi hal yang pasti dan bertentangan dengan doktrin dari agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Agama menjadi terpojok, dimarginalkan, bahkan dipertentangkan, dan akhirnya ditinggalkan.


Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup keuannya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika dan agama berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam situasi ini, maka pertemuan diantara keduannya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktannya bahwa sains dari barat ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup Islam. Sains Barat meletakan akal lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama dan bahkan meninggalkan agama.


Prof. Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa al-Qur’an dan Hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki struktur konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam. Secara kronologis, perjalanan dari al-Qur’an menjadi dislplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama adalah worldview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual di mana aktivitas keilmuan dikembangkan; kedua adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai ‘struktur konsep keilmuan’ (scientific conceptual scheme); dan ketiga adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan ‘struktur konsep keilmuan khusus’ (specific scientific conceptual scheme).


Adi Setia lebih memperjelas identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasikan pertama-tama melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis Muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Sina, al-Khwarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan Pandangan Hidup Islam.


Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga adalah upaya-upaya ilmuwan Muslim untuk merumuskan kembalikonsep-konsep sains Islam dengan tujuan untuk menghasilkan definisi, metodologi, paradigma keilmuan Islam yang dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan batin.


Dengan pemaparan diatas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektif. Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan Islamdengan konsep worldview, kita telah dapat mengenal identitas sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang pada alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu,tata nilai dan moralitas berbeda dari cara pandang Barat. Menurut Pandangan Hidup Islam, alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Franz Rosenthal berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (akhlak). Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas.


Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “I felt the need to leave behind all the books I read on order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya pada Tuhan), maka―meminjam istilah Hamid Fahmy Zarkasyi―bagi Muslim tentu harus berkata: “Saya perlu meninggalkan semua buku yang saya baca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya pada Tuhan”. Kalau Kant memilih logika either or, mamilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan Ilmu dan Tuhan. Wallāhu a’lam bissawāb.[]

Melihat Kembali Identitas Politik Islam

“Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al Hajj, 41)

Istilah politik (politics) sering dikaitkan dengan bermacam-macam kegiatan sampai dalam sistim politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan tujuan sampai dalam melaksanakan tujuan tersebut. Disamping itu, juga menyangkut pengambilan keputusan (decision making) tentang apakah yang menjadi tujuan sistim politik yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif serta penyusunan untuk membuat skala prioritas dalam menentukan tujuan-tujuan itu.

Seperti ilmu-ilmu lain dalam Islam, ilmu atau teori politik Islam bersumber dan diderivasi dari Al-Qur’an. Mungkin ini dianggap berlebihan, tapi sebenarnya tidak. Sebab politik menyangkut banyak bidang kehidupan sosial termasuk politik. Meski ayat-ayat itu baru berupa seminal konsep, namun jika dipahami dengan penalaran yang cerdas akan menemukan prinsip luhur berpolitik. Konsep-konsep seminal dalm ayat-ayat itu berkaitan antara satu dengan yang lain dan membentuk struktur konsep yang sistemik. Sebagai contoh, konsep khaliafah di bumi (Q.S. Al-Baqarah, 30; An-Nur, 55; An-Naml, 62; As-Sad, 26; Al-An’am, 165), berkaitan erat dengan konsep hukum dan keadilan (Q.S. An-Nisa, 58, 105, 135; Al-Maidah, 6) dan juga kepemimpinan (Q.S. Ali Imran, 118; An-Nisa, 49; As-Syu’ara, 150-152). Masalah kepemimpinan berkaitan dengan masalah musyawarah (Q.S. Ali Imran, 159). Prinsip persatuan dan persaudaraan (Q.S. Ali Imran, 103; Al Hujurat, 10) berkaitan dengan prisnsip persamaan (Q.S. An-Nisa, 1), tolong menolong, membela yang lemah (Q.S. Al-Maidah, 2; At-Taubah, 11), perdamaian dan peperangan (Q.S. An-Nisa, 89-90) dan lain sebagainya yang sangat komplek.

Pembaca awam terhadap ayat-ayat tersebut tentu tidak akan menemukan perintah eksplisit wajibnya melaksanakan atau mewujudkan politik Islam. Tapi perintah-perintah untuk menaati pemimpin, bermusyawarah, melaksanakan hokum, berlaku adil, amanah dan bertanggung jawab serta prinsip moral sosial lainnya dapat dipahami sebagai perintah implisit dan bahkan bisa wajib hukumnya. Perintah untuk mendirikan atau mewujudkan sekolah, universitas atau ekonomi Islam juga tidak secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur’an, tapi mencari ilmu dan berakhlaq mulia serta makan harta halal adalah wajib. Sarana untuk menjalankan yang wajib hukumnya adalah wajib pula. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. mendirikan Negara Madinah sebagai sarana untuk melaksanakan perintah yang lain (disebut sebagai Siyasat-ur-Rasul).

Siyasah sebagai Jalan Politik Islam

Istilah teknis untuk menjalankan perintah-perintah itu baik yang berasal dari Al-Qur’an atau yang tidak disebut siyasah. Istilah ini dapat berarti mengatur, mengurus dan memerintah, dan dapat juga berarti pemerintah dan politik atau membuat kebijaksanaan. Ibn Aqil secara tegas mengatakan bahwa yang disebut siyasah adalah perbuatan yang membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan menghindarkan diri dari kerusakan walaupun Rasul tidak menetapkannya dan Allah tidak mewajibkannya. Secara umum, siyasah dapat disamakan dengan politik.

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, praktek Nabi di Madinah, sebenarnya telah dapat diformulasikan menjadi teori politik Islam. Bahkan di zaman para sahabat yang mengalami beberapa konflik itu pun masih dapat dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam Islam dan dapat dibingkai dalam system politik Islam. Terlepas dari terjadinya konflik, perlu digaris bawahi, bahwa semua kelompok yang bertikai sama-sama mempertahankan prisnsip-prinsip syariah dan bukan karena ambisi kekuasaan dan kepentingan yang bersifat pribadi atau materi. Jika tidak, tentu hadith Nabi yang mensinyalir bahwa sebaik-baik zaman adalah zaman Nabi, kemudian zaman Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in menjadi tidak masuk akal.

Di zaman terbaik itu, khususnya sesudah Nabi wafat, masalah politik Islam yang paling menonjol dan mengemuka adalah konsep kepemimpinan (imamah, khilafah, bay’ah), sehingga sering dibahas oleh para ulama. Ini tidak lepas dari karakter masyarakat Islam yang meletakkan peran pemimpin begitu sentral dan menentukan. Peristiwa di Tsaqifah Bani Saidah adalah pelaksanaan syura pertama dalam Islam sesudah Nabi wafat dan merupakan tonggak penting bagi sejarah politik Islam, karena di sana disepakati siapa yang menjadi pemimpin pengganti (khalifah) Rasulullah.

Dalam perjalanan sejarah, banyak pemikir Muslim yang membahas masalah politik dan Negara, diantaranya adalah Al-Farabi, Al-Baqillani, Al-Ghazzali, Ibn Tamiyah, Ibn Khaldun dsb. Para pemikir Islam tersebut memiliki pandangan yang khas terkait masalah politik, namun terdapat satu perhatian besar bagi mereka, yakni masalah kepemimpinan dan ikatannya dengan Islam. Ghazzali berpendapat bahwa Negara adalah institusi yang haru ada, tanpanya kehidupan dan peradabannya akan kacau. Negara ini pun tergantung pada faktor kepemimpinannya.

Bagaimana suatu Negara menjaga masyarakat berdasarkan ideologinya ditentukan oleh keterampilan berpolitik pemimpinanya. Itulah sebabnya Al-Ghazzali menganggap politik sebagai skill yang terpenting dan paling mulia (afdal) dibanding keterampilan lain, seperti berdagang. Inilah yang melatarbelakangi mengapa konsep kepemimpinan juga menjadi perhatian khusus Ghazzali. Termasuk dalam bab kepemimpinan ini, Ghazzali juga membahas organisasi dan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab memegang amanah itu. Tidak beda dari ulama lainnya, pemimpin dalam konsep Ghazzali harus dipilih berdasarkan prinsip Syari’ah. Landasan mengapa pemimpin dan keterampilan berpolitik serta moralitasnya sangat penting dalam Islam merujuk pada keteladanan Rasulullah sendiri. Nabi tidak bisa hanya dianggap sebaga pemimpin agama yang mengurus mesjid dan ritual peribadatan saja. Nabi adalah kepala Negara Madinah, pemimpin perang, pengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang serta pelindung mereka.

Citra Politik Islam

Belakangan ini, citra poltik Islam tampak di mata dunia tidak lebih dari serial panjang kekejaman, kebiadaban, barbarism, dan kekacauan. Citra buruk seperti itu selama beberapa abad telah mengendap di sebagian besar benak masyarakat dunia, terutama di masyarakat Barat. Tampaknya, Barat dalam konteksnyadengan dunia Islam, tidak pernah mengalami pengenduran dalam upayannya membentuk dan sekaligus mengendepankan citra buruk Islam dan kaum Muslimin ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Tidak banyak yang tertarik mengkaji dan menggali teori politik Islam dari praktek kehidupan politik di masa lalu. Bukan hanya itu, praktek politik di Negara-negara Islam juga tidak selalu mengacu kepada teori politik yang telah dibangun para ulama di masa lalu. Latar belakang ini semua tidak lari dari dua faktor: faktor internal umat Islam yang kehilangan dinamika tradisi keilmuan mereka dan faktor eksternal yang disebabkan oleh derasnya arus pemikiran Barat yang menghegemoni pemikiran dan praktek politik Islam.

Hal di atas senada dengan pendapat Abu Ridho yang menyatakan bahwa upaya pembentukan dan pengendapan citra buruk terhadap Islam itu bukan tidak disengaja, bahkan sebagiannya justru dijadikan sebagai musuh bersama dunia yang tujuannya selain kolonialisme dan imperialism juga sebagai pelampiasan dendam. Meski tidak menutup mata, bahwa sebagian lagi disebabkan oleh kurangnya pemahaman non-Muslim tentang konsep-konsep Islam, termasuk konsep politik Islam, atau dikarenakan gagalnya kaum Muslimin menampilkan citra politiknya yang orisinal di zaman modern sekarang ini.

Memang, pada mulannya Muslim berkeyakinan bahwa Islam itu adalah politik. Namun ketika konsep-konsep dan faham-faham politik Barat sekuler itu bercampur dengan atau menggantikan konsep dan paham yang telah dimiliki oleh dunia Timur, Muslim mengalami kebingungan konseptual, konflik internal dan konflik identitas. Akibat yang kini banyak bermunculan adalah kalangan “cendikiawan” Muslim yang cenderung untuk mengidentikan Islam dengan setiap bentuk teori politik modern, betapapun di dalam substansi atau hakekatnya terdapat berbagai kerancuan dan ketidak-sesuaian. Bahkan Muslim justru mengagungkan sistim politik Barat dan membuang warisan sistim politik Islam dengan ala-Barat itu berasal dari Islam atau pengembangan dari yang dimiliki umat Islam.

Dalam realita, hal tersebut memang terjadi. Misalnya saja, ketika komunisme dan sosialisme menjadi suatu alternatif sistim ekonomi, sosial, dan politik untuk seluruh dunia, beberapa kalangan dalam Islam menyatakan bahwa sosialisme tersebut adalah sistim yang Islami. Begitu pula dengan ideologi nasionalisme yang merebak untuk mengusir para penjajah, dijustifikasi berasal dari Islam. Ada pula ketika wacana konsep Negara Sekuler mendominasi pemikiran Muslim, maka politik Islam dalam aturan Negara dianggap bersistem teokrasi, dan tidak ada penjelasan terhadap bagaimana system itu harus berjalan. Lebih parah lagi, yang lain menyatakan bahwa tidak ada sistim politik dalam Islam. Tidak ada perintah mendirikan Negara dalam Al-Qur’an. Itu semua hanya dalam bentuk respon-respon yang emosional atau apologetik. Hal tersebut merupakan buah dari usaha Barat yang merusak tatanan yang telah ada dalam Islam. Di Indonesia telah terjadi sejak masa Penjajahan Belanda, dan hingga kini masih terasa adanya upaya-upaya mengkaburkan politik dalam Islam. Bahkan, nilai-nilai Islam yang seharusnya terkandung dalam aktifitas politik, dianggap tidak perlu ada.

Demokrasi: Benarkah sebagai Kebanggaan?

Kini yang menjadi kiblat utama dalam politik Negara-negara dunia adalah demokrasi. Dapat dipahami memang ketika banyak Negara-negara di dunia yang mengagungkan demokrasi, terlepas dari ideologinya apa. Misalnya, Negara liberal dengan pasti akan menganggap demokrasi adalah hal yang harus ada dalam system politik Negara, karena mencerminkan kebebasan dan turut sertanya masyarakat dalam beraktifitas politik. Di sisi dunia lain, Negara yang berideologi komunis-sosialis, mengklaim pula bahwa Negara mereka adalah Negara yang menganut paham demokrasi, padahal konsep demokrasi adalah buah dari kapitalisme, suatu paham yang sangat mereka benci. Alasan mereka adalah karena kekayaan Negara telah diberikan sama rata bagi seluruh rakyat. Begitu pula Negara lainnya yang mengklaim mereka adalah Negara demokrasi.

Sepertinya demokrasi telah menjadi mekanisme atau bahkan menjadi tujuan sempurna dari politik kebanyakan Negara di dunia. Nilai-nilai luhur demokrasi yang begitu dianggap ideal dan benar bagi setiap ideologi Negara, didengungkan dengan aplikasi yang berbeda-beda pula. Jadi, penilaian terhadap demokrasi tidak akan terlepas dari ideologi Negara. Jika seperti itu, maka sebenarnya tidak ada penjelasan yang utuh dan pasti mengenai demokrasi, karena nilai luhurnya diimplikasikan lewat mulut ideologi. Dan, jika seperti itu, maka demokrasi itu tidak ada. Sepertinya konsep demokrasi hanya dipakai oleh sebagian besar Negara di dunia hanya dijadikan label.

Plato (429-347 SM) dan Muhammad Iqbal pun mengkritik demokrasi, terutama demokrasi ala Indonesia. Diantaranya adalah tidak dapat menyeleksi pimpinan yang berkualitas. Dengan demokrasi pemimpin yang dipilih hanya berdasrkan pada non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga. Menurut Plato, pemimpin yang hebat adalah yang mengerti wisdom dan memimpin dengan wisdom yang diperoleh dari ide yang sempurna. Iqbal beranggapan bahwa dari ribuan semut tidak akan melahirkan seorang Sulaiman, dan dari ratusan keledai, tidak akan melahirkan pemikiran manusia.

Dalam hal ini penulis bukan ingin menyalahkan demokrasi atau menolak demokrasi, tapi lebih kepada usaha penyadaran nilai dari konsep yang biasa kita dengungkan. Tidak perlu kita terlalu bertekad dengan meneriakan “demokrasi” dalam tiap langkah kita membangun negeri. Karena Negara Indonesia telah sangat demokratis, sampai menghina Presiden pun dianggap hal yang heroik. Ada hal lain yang lebih pantas kita suarakan dan kembangkan. Demokrasi hanya menjadi jalur bebas bagi kita yang memberikan kesempatan bagi kita untuk berjalan menuju tujuan dengan leluasa.

Usaha Memahami Identitas Politik Islam Kembali

Mengingat bahwa konsep-konsep politik yang kita pahami banyak berasal dari Barat Sekuler, maka mestinya terdapat usaha dewesternisasi dan desekulerisasi. Uasaha ini bukan merupakan tindakan rasis, tapi merupakan proses epistemologis yang berkutat pada masalah konsep. Oleh karena itu, Muslim tidak seharusnya menolak atau menerima suatu konsep asing manapun kecuali telah benar-benar mengetahui konsep-konsep tersebut dan setelah benar-benar mengenal dan menguasai konsep-konsep fundamental dalam Islam. Namun masalahnya, para cendikiawan Muslim yang menguasai teori politik modern seperti hanyut dalam status quo sistim politik Barat. Tidak banyak, atau kalau boleh dikatakan tidak ada, cendikiawan Muslim yang berani keluar dari pakem sistim politik Barat dan memberi alternatif yang dapat diterima oleh masyarakat atau yang dapat menyadarkan masyarakat perlunya alternatif politik baru, Islam tentunya. Ini suatu kerja yang tidak sebentar dan tidak sederhana, namun perlu dimulai segera!

Singkatnya identifikasi sistim politik Islam hanya dapat dilakukan dengan Islam (Islamic worldview) yang dipancarkan oleh Al-Qur’an dan diperjelas oleh Nabi serta dipraktekkannya. Semua itu diperkaya dengan praktek para sahabat dan wacana para ulama sesudahnya. Jika sistim politik Islam telah ditemukan identitasnya maka langkah selanjutnya adalah melakukan upaya pengembangannya secara konseptual. Hamid Fahmy Z. menawarkan langkah pengembangannya, proses awal adalah mengevaluasi secara kritis sistim politik Barat Sekuler, kemudian menganalisa aspek-aspek politik Islam yang tidak compatible dengan Islam untuk dibuang dan aspek-aspek yang compatible untuk diadopsi. Aspek-aspek yang compatible itu kemudian diintegrasikan dengan aspek-aspek politik Islam, diuji validitasya, untuk akhirnya dilakukan proses Islamisasi dimana konsep-konsep sentralnya benar-benar dominan, sehingga tidak lagi dapat disebut kecuali sistim atau teori politik Islam. Tapi ini belum selesai, ia perlu satu lagi, yaitu sosialisasi konsep. Sebab tanpa proses ini orang-orang yang tidak mengenal Islam dengan baik akan memusuhi dan menolaknya.[]

Rabu, 09 Juni 2010

Pemaknaan baru dalam Sejarah Indonesia

Perlu kita ketahui dan kita sadari bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al- Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…” yang berarti tidak ada satu pun peradaban yang makmur—atau setidaknya masih ada, setelah mereka kehilangan kebanggaan dan hubungan dengan sejarahnya.

Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: “Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hamper semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.” Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hokum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukanNusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.


Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa. Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori ‘receptio in complexu’. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori ‘receptie’, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori ‘receptie’ Snouck Hurgronje ini sebagai ‘teori Iblis’. (Lihat, Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).


Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari masyarakat Melayuc Nusantara. Dalam buku ’klasik’-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam. Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: “Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness."


Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda – yang kemudian diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa. Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam). Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kirah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’.


Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’.


Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. ”Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agarmenjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai ’unsur asing’ dari bangsa ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.


Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budayaini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, ”tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University. Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut. Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita. Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan.


Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya. Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan juga sejarah bangsanya.

***


*Intisari dari makalah Adian Husaini yang berjudul "Meluruskan Sejarah Indonesia"