Minggu, 18 Juli 2010

Pluralisme: Kerancuan Istilah dan Pemahaman

Oleh: Anis Malik Thaha

Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di negeri kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme adalah toleransi” atau “pluralisme agama adalah toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respon yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI. Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”.

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism” (masing-masing bisa diakses dan dibaca pada http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php, dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php), menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan faham ini secara detail. Dia menyatakan salah satunya bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya ini:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other... Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? ... a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding... Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

(Saya usulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekadar toleransi menjadi upaya aktif memahami (orang/kelompok)yang lain… Meski tak diragukan lagi toleransi itu selangkah lebih maju daripada intoleransi, ia tidak menuntut orang-orang yang bertetangga baru untuk tahu sedikit pun antara satu dengan lainnya. Toleransi muncul dari pihak yang kuat posisinya. Saya dapat toleran dengan banyak kelompok minoritas jika saya kuat (berkuasa), tapi jika saya sendiri dari kelompok minoritas, apa artinya toleransi? … suatu masyarakat yang betul-betul pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif… Toleransi dapat menciptakan iklim pengekangan-diri, tapi bukan iklim (saling) memahami. Toleransi adalah pondasi yang sangat rapuh dan rentan bagi sebuah masyarakat yang beragam agama, dan di dunia dimana kita hidup sekarang ini, ketidak-tahuan kita antara satu dengan lainnya ongkosnya (yang harus dibayar) akan semakin mahal).

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis pada halaman 231: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.” (hal. 251)

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan ”iman-kufur”, ”tauhid-syirik”, dalam konsepsi Islam.

Al-Quran jelas menyebut orang mukmin sebagai ”khairul bariyyah” (sebaik-baik makhluk), sedangkan orang kafir disebut ”syarrul bariyyah” (seburuk-buruk makhluk). Bahkan, al-Quran juga tidak menyetarakan antara orang shaleh dengan orang jahat (fasik). Orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang taqwa. Maka, Islam punya konsep kesetaraan sendiri yang jelas berbeda dengan konsep kesetaraan kaum Pluralis Agama.

Karena itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau paham yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui bahkan menindas keberagaman (pluralitas). (***)

Kamis, 15 Juli 2010

Kritik terhadap Paham Pluralisme Agama

Secara garis besar, prularisme adalah pikiran yang menganggap semua agama itu sama. Pikiran ini telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa Negara lainnya. Namun pada awal millenium ini, pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya secara begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah yang baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas social. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengkomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Tapi mengapa pemikiran ini sepertinya menjadi suatu yang tidak sesuai dengan Islam itu sendiri? Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?

Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernism di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Mereka telah banyak meneliti segala aspek dari manusia, termasuk agama yang dianutnya. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajemukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Konsep pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Adanya berbagai macam perbedaan tersebut adalah suatu keniscayaan. Sedangkan yang kedua, (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi—yang mana akan semakin mengaburkan hampir semua batasan.

Solusi terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi megnhadapi pluralisme agama sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program Teologi Global (Global Theology) dan paham Kesatuan Trasenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Dua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain, walaupun keduannya sama-sama menggagas persamaan nilai agama.

Munculnya kedua aliran di atas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduannya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat, khususnya para teolog. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntunan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bias dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.

Hamid Fahmy Z. beranggapan bahwa dalam pandangan pluralisme ini nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antara agama, global ethic, Religious Dialogue yang diadakan oleh World Council of Religious dan lembaga lain sangat marak di seluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada tahun 2004. Jurnal missionaries tersebut menurunkan tema pluralisme agama dengan focus dialog Islam Kristen. Sudah tentu di situ framework Barat sangat dominan, framework yang mencerminkan pola budaya mereka. Mereka berpandangan bahwa seiring berjalannya waktu, maka semua agama akan membentuk suatu agama global dan membentuk suatu kesatuan.

Berbeda dengan mkotif aliran yang pertama, yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Aliran ini cenderung mengambil essensi kebaikan dalam setiap agama yang semuannya menuju pada satu arah, yaitu kebenaran trasendental.

Aliran pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.

Solusi yang ditawarkan kedua aliran ini pun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan sasumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick diantara tikihnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies.

Tentu saja, aliran pluralisme ini mengarah pada pengaburan batasan-batasan ajaran agama yang seharusnya dipegang teguh oleh para pemeluknya. Teori teologi global ini tidak dapat secara utuh mengontekstualisasikan dirinya pada agama manapun. Setiap agama memiliki konsep tersendiri tentang ketuhanan, kenabian, wahyu, dan ajaran dari para pendakwahnya. Lalu, bagaimana mungkin setiap agama nantinya dapat disatukan? Lalu, jika kita lihat dari sisi yang sedikit berbeda, maka kita akan menemukan kecenderungan ke arah sekulerisasi, bahkan menuju penghilangan agama-agama dalam kehidupan manusia. Karena dalam pelaksanaannya, aliran ini akan mengganti aturan wahyu Tuhan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dianggap baik dan manusiawi. Padahal dalam Islam, wahyu adalah sumber rujukan hukum yang utama, yang pasti akan menjadi yang terbaik bagi ummat manusia. Pada titik ekstrimnya, ajaran ini akan menghapus semua agama yang ada di dunia dan menggantinya dengan “agama” yang mereka buat sendiri, yang menurut mereka adalah yang sempurna.

Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bias di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bias dilihat hanya dari perspektif sosiologis ataupun historis dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Hikmah al-Khaalidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sacral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama”. Pada akhirnya setiap agama akan mencapai titik temu agama-agama pada level esoteris. Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene Guenon (m. 1951), Fritjhof Schuon (m. 1998), Seyyed Hossein Nasr, dan banyak lainnya.

Pemikiran pluralisme yang kedua ini, secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteric pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain. Pemikiran ini nampaknya di dorong oleh suatu motif agar antar agama-agama yang ada di dunia tidak terjadi pertentangan. Tapi teorinya cenderung membenarkan semua agama. Pembenaran itu bukan berdasarkan suatu yang devine, wahyu, tapi pada pikiran. Padahal Islam adalah agama yang mengajarkan kesalahan yang terdapat pada agama-agama sebelumny. Kesalahan yang ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran Islam, namun dapat diketahui juga historitas berbagai agama tersebut. Dari kalangan agamawan Yahudi dan Kristen, misalnya kita dapati kritik-kritik terhadap aspek eksoterisme dan esoterisme agama mereka secara sangat tajam. Menurut Adnin Armas Ph.D, ini menunjukan bahwa kesalahan yang ditunjukan al-Qur’an tentnag agama itu adalah self-evident.

Selain itu, titik temu antar agama juga tidak terjadi pada level esoretis karena masing-masing agama agama memiliki konsep Tuhan yagn ekslusif atau berbeda satu sama lain pada level esoteric. Kebanyakan dari para tokoh yang menggagas dan mendukung aliran ini adalah berdasarkan pengalaman mereka ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama. Pengalaman itu sendiri tidak dapat dikatakan sebagai agama, karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan pada seluruh manusia, namun hanya diraih oleh elit tertentu setiap agama. Jadi, kesatuan tresenden seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan. Oleh sebab itu, gagasan dari aliran ini, pada level esoteris adalah ‘utopia’.

Dari paparan di atas, bukan berarti penilaian terhadap pluralisme adalah anti-Barat. Tentu saja, kesan tersebut nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada objektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi barat moder dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di timur. Dalam kondisi pemikiran yang prolematik ini—mengutip dari catatan Hamid Fahmy Z.—sangatlah bijaksana jika kita tidak ke barat dan tidak ke Timur, tapi kembali pada Islam.[]