Jumat, 27 Agustus 2010

Sains Modern

Kehidupan di muka bumi ini bermula sekitar 3½ miliar tahun yang lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, dengan begitu ber‘evolusi’ menghasilkan aneka ragam spesies baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai kemudian muncul spesies baru bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul kehidupan. Ribuan bahkan jutaan tahun berlalu tak seorangpun konon berhasil memberi jawaban memuaskan. Baru pada tahun 1735 Carolus Linnaeus dari Swedia menjadi ‘manusia pertama’ yang membuat klasifikasi berdasarkan kemiripan dan memberikan ‘nama saintifik’ bagi tiap-tiap spesies. Dan baru pada tahun 1859 teka-teki biologi tersebut berhasil dipecahkan oleh saintis Inggris bernama Charles Darwin. Manusia, sebagaimana spesies lain, ‘muncul’ (evolved) dengan sendirinya dari proses seleksi alam.

Jika dipikirkan kembali, dongeng evolusi ini tidak hanya sarat dengan khayalan tetapi juga berunsur penghinaan. Pertama, kendati berangkat dari kajian empiris selama pelayarannya di Amerika Selatan, penyimpulan Darwin lebih bersifat dugaan (conjecture) ketimbang kepastian. Dalam konstruk epistemologi Islam, pengetahuan semacam ini disebut zhann atau sangkaan. Validitasnya hanya sedikit lebih tinggi dari keragu-raguan dan kira-kira (wahm). Pengetahuan yang dibangun diatas teori serupa ini tidak sampai derajat yakin. “Mereka sekadar mengikuti sangka belaka, padahal sangkaan itu tidak bisa menggantikan kebenaran,” firman Allah dalam al-Qur’an (53:28). Kedua, cerita evolusi itu juga mengesankan seolah-olah bangsa kulit putih sajalah yang paling hebat. Tak salah jika banyak yang menyebutnya ‘heroisme kolonial’.

Anehnya, khayalan Darwin itu menjelma jadi dogma. “Susah, pak, menolak teori evolusi kalau ingin menjadi ahli biologi sekarang ini,” ujar sahabat saya dari Unibraw, Malang. Ia ibarat rukun iman bagi biolog modern. Tapi justru di sinilah letak persoalannya. Ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang kita pelajari dan kita ajarkan kepada siswa dan mahasiswa adalah ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 500 tahun terakhir. Mulai dari ilmu-ilmu alam hingga ilmu-ilmu sosial atau humaniora. Tak mungkin dipungkiri, ilmu-ilmu tersebut jelas diwarnai oleh akidah alias Weltanschauung ilmuwan bersangkutan. Secara sadar ataupun tidak, pelbagai disiplin ilmu yang kita konsumsi sekarang ini mengandung unsur-unsur halus naturalisme, materialisme, dan sebagainya.

Tak jauh beda khayalan ilmiah mengenai alam semesta. Konon, kata para saintis, alam semesta ini ‘muncul’ akibat ledakan mahadahsyat (Big Bang) yang terjadi sekitar 13.700 juta tahun silam. Kalau tidak percaya silakan hitung sendiri, kata seorang teman setengah berguyon. Ledakan tersebut melontarkan materi dalam jumlah sangat besar ke segala penjuru. Materi-materi itulah yang mengisi alam semesta ini, yang kemudian dinamakan bintang, planet, debu kosmis, asteroid, meteor, energi, dan sebagainnya. Maka dikhayalkan bahwa alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya dan akan terus menerus ada. Gambaran ini jelas memantulkan pandangan materialistis yang menafikan kewujudan Tuhan.

Namun sayang sekali kebanyakan ilmuwan kita seperti tidak berkutik di hadapan sains modern. Jauh dilubuk hati mengakui Allah sebagai pencipta dan berkuasa atas segala sesuatu dari partikel terkecil hingga galaksi dan jagat raya. Tetapi dalam pikiran bertahta saintisme beserta hulu-balangnya. Disaat kaum Muslim berlomba-lomba mengejar mantan penjajah mereka dalam bidang sains dan teknologi, seruan ‘islamisasi’ memang terdengar aneh. Apakah kaum Muslim harus menolak sains modern? Oh, bukan itu maksudnya.

Islamisasi bermula dari kerangka berpikir, ‘worldview’ yang terdiri dari gugusan konsep-konsep Islami berkenaan dengan Tuhan, Wahyu, Nabi, Ilmu dan seterusnya. Ia berfungsi sebagai filter penyaring dan penepis elemen-elemen yang tidak sesuai atau bertolak-belakang dengan konsep-konsep Islami tersebut. Ini karena sesungguhnya cara kerja pikiran kita tak ubahnya bagaikan sistem metabolisme badan. Meminjam ucapan Seyyed Hossein Nasr, penulis buku Science and Civilization in Islam: “Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit pun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang (No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected. It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected).” Artinya, kita hanya perlu bersikap lebih kritis dan selektif terhadap sains modern.

Menyatukan Fisika dan Metafisika

Written by Wendi Zarman

Menurut Prof. S.M. Naquib al-Attas, masalah kekeliruan ilmu (corruption of knowledge) adalah merupakan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat modern. (al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2010). Kekeliruan ini muncul akibat menyusupnya paham sekuler yang dibawa oleh peradaban Barat ke dalam ilmu-ilmu kontemporer. Ilmu yang keliru melahirkan tindakan manusia yang keliru pula. Inilah yang disebut oleh al-Attas, pakar Filsafat Sains, sebagai loss of adab, yaitu hilangnya kemampuan manusia melakukan tindakan yang benar karena bersandar pada ilmu yang keliru.

Tindakan yang keliru ini pada akhirnya bukanlah memberikan kebahagiaan, melainkan kesengsaraan kepada manusia. Buktinya, disaat sains dan teknologi sedemikian maju saat ini, umat manusia bukannya berhasil meraih kebahagiaan. Sebaliknya, berbagai keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam terus meruyak. Kerusakan lingkungan, wabah penyakit yang tiada henti, bencana alam, degradasi moral, kriminalitas, dan peperangan, dating silih berganti.

Ironisnya, paham sekuler inilah yang banyak dijadikan landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan masa kini yang kemudian diajarkan di sekolah-sekolah. Hampir tidak ada disiplin ilmu alam atau sosial yang tidak terpengaruh oleh ideologi sekular. Salah satu buktinya adalah ditolaknya wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semua ilmu ini dibangun dalam kerangka rasionalisme dan empirisisme.
Ilmu Fisika sebagai ilmu yang sangat penting di era modern juga tidak lepas dari pengaruh paham sekular ini. Oleh karena itu, Ilmu Fisika perlu diislamkan. Apanya yang diislamkan?

Saat bicara Islamisasi Fisika, maka harus dimulai dari hal-hal yang paling asas dari Ilmu Fisika, bukan dari kulit luarnya. Islamisasi Ilmu Fisika bukanlah mengislamkan teori Newton atau teori relativitas Einstein sehingga menghasilkan suatu teori gerak baru yang Islami. Islamisasi juga bukan berarti mencocokkan al-Qur’an dengan temuan fisika modern terkini. Misalnya, mengaitkan teori Big Bang dengan al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 30 yang berbicara tentang penciptaan alam semesta. Islamisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah Islamisasi filsafat sains yang melatarbelakangi lahirnya teori-teori fisika tersebut. Hal ini karena teori-teori fisika tidaklah lahir dari ruang kosong, tapi berangkat dari suatu sandaran metafisika mengenai hakikat alam semesta.

Sebagaimana telah disebut di atas, sandaran metafisika sains modern yang paling utama adalah paham sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, salah satu dimensi dari sekularisasi adalah penghilangan pesona alam (disenchantment of nature). Artinya, alam hanyalah materi yang tidak memiliki makna spiritual. Oleh karena itu manusia berhak memperlakukannya sesuai dengan kemauan manusia. Dari sini kita dengan mudah mengidentifikasi mengapa masalah kerusakan lingkungan merupakan masalah paling pelik di abad modern.

Sekularisasi juga telah menyebabkan penelitian fisika hanya menyibukkan diri dengan fenomena lahiriah (empiris) dan melepaskan kaitannya dengan Realitas Mutlak (Tuhan). Islamisasi tidak mempermasalahkan formulasi F=ma dalam teori gerak Newton, tetapi tafsiran filsafat sains yang menganggap dinamika alam sebagai sesuatu yang mekanistik. Layaknya mesin, alam bekerja sendiri berdasarkan mekanisme sebab dan akibat sehingga menegasikan kehadiran Tuhan. Sekiranya Tuhan memang ada (sesuatu yang diragukan oleh banyak fisikawan dunia), Ia tidak punya peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam. Lalu manusialah yang kemudian menjadi tuhan yang mengendalikan alam. Di sinilah manusia mencabut unsur metafisika religius dari ilmu fisika.

****
Berbeda dengan paham sekular, semua konsep Islam dibangun dalam kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan-Islam mengenai alam. Di dalam Islam, alam bukanlah sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda (ayat) dari kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang meneliti dan mempelajari fisika ia berarti sedang berusaha mengenal Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran 191 : Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”

Ayat di atas menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah SWT. Pada titik inilah fisika dan metafisika Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan (tauhid).

Oleh karena itu di dalam Islam tidak dikenal istilah “fisika untuk fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekedar kesenangan memecahkan misteri alam. Itu sebabnya di sepanjang sejarah Islam kita tidak mengenal ada ilmuwan Muslim yang menjadi anti Tuhan setelah menguasai ilmu fisika, atau ilmu apa pun, karena landasan mempelajarinya berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Allah. Bahkan, para ilmuwan di dunia Islam masa lalu biasanya juga dikenal sebagai orang yang faqih dalam ilmu agama.

Sebaliknya di Barat, tidak sedikit ilmuwan yang semakin tahu tentang alam semakin meragukan keberadaan Tuhan, bahkan menjadi anti Tuhan. Laplace, seorang ahli astronomi Perancis abad ke-18, ketika ditanya Napoleon tentang pemeliharaan Tuhan terhadap alam semesta menjawab, ”Yang Mulia, saya tidak menemukan dimana tempat pemeliharaan Tuhan itu.” Sementara Hawking, fisikawan yang dianggap paling tahu soal kosmologi, sampai sekarang pun masih saja bertanya apakah alam ini memiliki Pencipta, dan kalau ada apakah Ia juga mengatur alam semesta (Brief History of Time).

Di negeri Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris.

Inilah perbedaan utama antara pandangan Islam dan sekular. Melalui sekularisasi, Ilmu Fisika diceraikan dari metafisika Islam. Sedangkan Islamisasi adalah mengembalikan metafisika Islam sebagai ruh Ilmu Fisika, sehingga ilmu ini menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan semata-mata memuaskan keingintahuan manusia terhadap alam. (***)