Senin, 18 April 2011

Tradisi Keilmuan dan Iklim Intelektual Islam di Andalusia di Abad Pertengahan

Epistemologi sains dapat dipahami melalui terutama sifat kognitifnya. Sementara itu tradisi adalah suatu fenomena social yang timbul dari tatanan sosial alam manusia dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami dar aspek kognitif sains. Hal ini memudahkan untuk menentukan dasar kognitif, atau epistemis sains dari aspek sosialnya. Tradisi keilmuan pada dasarnya merupakan fondasi dari pembentukan ilmu-ilmu di dalam suatu peradaban (atau masyarakat).
Ketika semangat intelektual dan spiritual benar-benar mengisi relung-relung kehidupan umat Islam, terutama kelangan ilmuwannya, maka kontribusi Islam di bidang ilmu pengetahuan mempunyai dasar yang kokoh. Sebuah peradaban yang menggabungkan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai keimanan.
Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dunia Islam ketika itu berhasil mentrasfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban lain, seperti Yunani, India, Cina, Persia, dan sebagainya. Tetapi, para ilmuwan Muslim tidak begitu saja menjiplak karya-karya ilmuwan Yunani atau yang lain. Bahkan menurut Prof. Cemil Akdogan, ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang “khas Islam”, yang berbeda dengan tradisi ilmu pengetahuan Barat atau peradaban lain. Di zaman keemasan peradaban Islam itulah, banyak peradaban lain yang belajar, khususnya bangsa Barat. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum Muslim dengan aman. Tempat yang paling berkontribusi dalam proses transfer ilmu dan pengetahuan ini adalah Andalusia, yang sekarang lebih dikenal sebagai Spanyol.
Dalam buku “What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization”, Tim Wallace menyatakan bahwa pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. “Life for the majorit of people in mainland Christian Europe was shor, brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned and tolerant regime in Islamic Spain.” Jadi, kata Tim Wallace, bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa, kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam.
Islam mulai bersinar di bumi Andalusia, pada 711 M, ketika Tariq bin Ziad mendarat dengan 12.000 pasukannya. Secara resmi, keberadaan Islam secara politis runtuh pada 25 November 1491 M, tatkala kunci kota Granada diserahkan kepada Ferdinand dan Isabela. Diantara dua titik tersebut, sejarah telah berjalan hampir 800 tahun. Selama itu pula proses Islamisasi telah berhasil melahirkan hakikat ilmu pengetahuan. Dalam masa ini pula kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan, pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Spanyol adalah negeri yang subur, dan kesuburan itu yang mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir-pemikir handal.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
Islam di Spanyol telah membentuk sebuah peradaban yang luar biasa. Islam di Spanyol dapat dikatakan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan Yunani-Arab dan Eropa, khususnya masalah filsafat. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M, selama pemerintahan penguasa Bani Umayah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Nama filsafat Islam yang sebenarnya adalah hikmah. Istilah hikmah disebut sekitar 20 kali dalam Al-Qur’an dan maknanya sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional, filsafat masih dipahami sebagai hikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para Wali. Bahkan banyak orang yang tidak sadar bahwa pemikiran filsafat dalam Islam bias ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, Kalam, Usul al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan matematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Pada kenyataanya, filsafat yang berkembang di Andalusia memberikan dampak besar, terutama pada Eropa Barat.
Pemikiran filsafat yang paling berpengaruh terhadap Eropa Barat adalah pemikiran dari Ibnu Rusyd. Secara umum, semua yang dituju oleh Ibnu Rusyd adalah untuk menjelaskan bahwa hakekat syara’ sama dengan hakikat akal. Pendapat ini menyusup dengan sangat cepat ke dalam dunia Kristen, seperti yang sering dikatakan oleh sejarawan kontemporer. Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd, dianggap oleh Kristen Eropa sebagai biang keladi dari gerakan zindik dan bid’ah di dalam tubuh gereja.
Begitu juga dengan pemikir sosial dan sejarah, Ibnu Khaldun. Banyak penulis kontemporer yang menyebutnya sebagai orang pertama yang menjadi penyusun dan mengemukakan sosiologi dan sejarah modern. Khusus mengenai sejarah, Ibnu Khaldun tidak saja ingin menghadirkan masa lampau itu dalam format yang lebih utuh yang memang menjadi profesi sejarawan, tapi juga mau berangkat lebih jauh: menjadikan sejarah sebagai panggung moral.
Dalam bidang sains, peradaban Islam Andalusia memberikan sumbangan besar pada dunia. Asal-usul sains modern, atau Revolusi Ilmiah, berasal dari Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam adalah pionir sains modern. Berkembangnya Islam di Andalusia, dibarengi dengan berkembangnya sains disana, yang mana memberi dampak sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, khususnya Eropa Barat. Ilmu-ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, dan lain-lain berkembang dengan baik.
Dalam bidang bahasa dan sastra, Andalusia menggunakan bahasa arab. Bahasa arab telah menjadi bahasa afministrasi dalam pemerintahan Islam di Andalusia. Hal ini dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Seiring dengan kemajuan dalam bidang bahasa, karya-karya sastra banyak bermunculan, seperti al-‘Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah karya Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya Al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban di Andalusia ini merupakan jembatan yang mengantarkan masa kebangkitan Barat setelah dalam tidurnya selama berabad-abad. Proses transformasi ini selain melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran di Andalusia, juga berlangsung melalui pedangang-pedagang Muslim Sicilia, dan tentara Salib. Merekalah yang membawa peradaban Islam ke Barat.
Jika kita renungi kembali catatan sejarah yang ada mengenai Andalusia dan umat Muslim, sulit dibayangkan dunia Barat berkembang begitu pesat seperti sekarang jika peradaban Islam tidak mencapai Eropa pada abad ke-8. Dunia saat ini semestinya berterima kasih dan mengakui secara objektif bagaimana umat Islam telah memberikan banyak sumbangan nyata yang membangun bagi seluruh peradaban modern.

Rabu, 06 April 2011

Liberalisme dan Feminisme

Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?

Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.

Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
***
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.

Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).

Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.

Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.