Senin, 22 November 2010

Tantangan Orientalisme

Oleh: SYAMSUDDIN ARIF

Pada 12 Mei 2010 lalu, saya diminta kampus International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, untuk mempresentasikan sebuah makalah berjudul ”Islamic Studies Today: The Challenge of Orientalists” (Studi Islam Hari Ini: Tantangan dari Orientalis).

Suasana diskusi cukup semarak. Hadirin sebagian besar adalah mahasiswa S2 dan S3 dari berbagai fakultas; studi Islam, hukum, pendidikan, ekonomi, dan sosial-politik di International Islamic University Malaysia (IIUM). Ada juga beberapa profesor, dosen senior, peneliti dan beberapa perwakilan lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang tampak hadir. Ini adalah kali kedua dalam seri kuliah bulanan di ISTAC yang mengambil tema ”Islamic Thought after Post-Modernism”.

Istilah‘Orientalis’ biasanya ditujukan kepada para Ilmuan Barat yang melakukan kajian terhadap Islam. Bidang kajian mereka tidak terbatas hanya soal agama Islam, tetapi mencakup budaya, bahasa, dan sejarah. Mereka juga memperluas kajiannya dalam peradaban-peradaban dunia yang lain seperti India, China, Mesopotamia, dan Mesir. Kepentingan mereka dalam mengkaji peradaban Timur juga dibarengi dengan semangat Enlightenment, yang terkenal dengan istilah ”Ex Oriente Lux” (dari Timurlah munculnya cahaya).

Kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam telah muncul sejak zaman pertengahan, terutama saat terjadinya Perang Salib. Mereka memulai dengan menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin. Pada tahun 1143 M, al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton yang diberi judul ’Lex Mahumet Psudoprophete.’ Proyek ini diselesaikan di Spanyol atas bantuan dari Peter the Venerable, seorang Kepala Biara Cluny di Prancis. Demikian pula dengan karya-karya intelektual Muslim seperti al-Shifa, Qanun fi al-Tibb, al-Tasrif, dan al Zij. Dari gerakan penerjemahan, pada abad ke-16 banyak universitas di Eropa mulai mengajarkan bahasa Arab dan bahasa orang-orang Islam yang lain seperti; Persia dan Turki. Di Paris materi ini dibuka pada tahun 1635, Oxford dan Cambridge pada tahun 1636, diikuti Leiden, sesudah Salamanca, Roma, dan Bologna.

Pada awalnya, orang-orang Barat belajar Islam dalam rangka kebangkitan kembali yang kemudian mereka sebut Renaissance. Namun, tujuan mereka tidak sekedar untuk itu, mereka juga mengekpresikan kejahatan agama Islam kepada publik yang mereka salahpahami dari ajaran-ajarannya.

Semangat mempelajari agama Islam tampak juga pada hubungannya dengan kolonialisasi. Hal ini bisa dilihat pada saat Napoleon Bonaparte datang ke Mesir (1789 M) dengan membawa pasukan dan para ilmuan yang ditugasi untuk mempelajari bahasa, agama, dan budaya orang-orang Mesir. Hubungan ini makin rapat pada saat penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk mempelajari daerah Aceh yang dilakukan oleh Snouck Horgronje.

Hampir tak ada bidang yang luput dari kajian para orientalis. Pada abad ke-19 beberapa orientalis mulai melihat pentingnya metodologi yang telah diterapkan pada kitab Bibel untuk diaplikasikan dalam studi Islam khususnya metode kritik sejarah. Berbagai teori kajian Islam dan sejarahnya juga dikenalkan kepada kaum Muslim, terutama pada cendekiawannya.

Muncul pelbagai teori yang kerap dipakai Orientalis, semisal teori pengaruh (theories of influece), teori asal-asul (theories of origins), teori peminjaman (theories of borrowing), teori evolusi (theories of evolution), dan teori perkembangan (theories of development). Teori-teori ini diterapkan oleh Orientalis sebagaimana tampak dalam karya-karya mereka; A Literary History of the Arabs (Reynold Nicholson), Judaism in Islam (Abraham I. Katsh), Quranic Studies (John Wansbrough), the Qur’an as Text (Stefan Wild) dan sebagainya. Bahkan metode mereka telah mempengaruhi para intelektual Muslim Indonesia yang muncul dalam karya mereka diantaranya Edisi Kritis al-Qur’an.

Perbedaan Studi Islam yang dilakukan Orientalis dan kaum Muslim dapat dilihat dari cara mereka berasumsi. Para Orientalis beranggapan bahwa agama Islam adalah objek penelitian yang tidak ada hubungan dengan kebenaran yang ada dalam agama Islam. Mereka melakukan kajian sekedar untuk tujuan penelitian, tanpa mempertimbangkan orang-orang Islam yang memeluknya dan kebenaran yang telah mereka yakini dari agama ini. Selain itu, mereka juga melihat agama Islam sebagai fenomena sosial atau literatur yang layak dikaji melalui pendekatan budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan perbandingan agama. Dengan begitu, mereka membagi Islam dalam dua kategori; Islam normatif (yakni segala norma dan aturan keagamaan yang ditentukan oleh Allah swt), dan Islam aktual (ajaran yang dilakukan oleh orang-orang Islam di berbagai tempat). Akibatnya muncul kategori-kategori aneh semacam Islam klasik, Islam Fundamental, Islam Pertengahan, Islam Moderat, Islam Radikal, dan Islam liberal. Semua ini adalah pembagian yang tidak tepat.

Untuk membendung serbuan intelektual yang sangat masif dari kaum orientalis, maka kini diperlukan munculnya cendekiawan-cendekiawan Muslim yang memiliki basis tradisi keilmuan Islam yang kuat, menguasai wacana dan kiat-kiat orientalis dalam studi Islam, bermental ”bangga sebagai Muslim” dan berani bersikap kritis terhadap kajian orientalis.

Dalam kajian Sejarah Islam di wilayah Melayu-Indonesia, misalnya, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas telah merintis studi yang mendalam dan kritis terhadap hasil kajian orientalis tentang bidang ini. Kini ditunggu munculnya sarjana-sarjana Muslim yang melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah dirintisnya.

Selasa, 09 November 2010

Pendidikan Karakter: Apa Lagi?

Oleh: Anita Syaharudin

Pendidikan karakter! Dua kata ini, sejak 2009 seolah menjadi primadona, khususnya dalam dunia pendidikan. Berbagai diskusi, seminar, ceramah, dan bedah buku dilakukan untuk membahas dua kata tersebut.

Maklum, belakangan, marak berbagai peristiwa yang mempertanyakan moral atau karakter bangsa Indonesia. Media TV nyaris tiap hari diserbu tayangan-tayangan kekerasan. Terbongkarnya manipulasi pajak seorang pegawai golongan rendah bernilai puluhan milyar rupiah membelalakkan mata banyak orang. Berita pelesiran sejumlah wakil rakyat “yang terhormat” dengan menghambur-hamburkan uang rakyat menambah perut rakyat semakin mules. Kasus video porno tiga orang artis terkenal dan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja semakin membetot perhatian pelaku dan praktisi pendidikan.

Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009).


Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Padahal, di atas kertas, tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah ideal: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Karena tidak “nyambung” antara cita dan fakta itu lalu sejumlah tokoh pendidikan dan pemerintah menggelorakan slogan besar: kita perlu Pendidikan Karakter! Dulu sudah pernah ada Pendidikan Moral Pancasila (PMP), ada Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, Pendidikan Kewarganegaraan, dan sebagainya.
Lalu, apalagi “makhluk” yang bernama Pendidikan Karakter ini?

Pentingnya karakter
Sejak berabad silam para ahli dan pemikir telah menuangkan ide-ide mereka bagaimana mendidik manusia agar menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang baik. Barat mengembangkan nilai-nilai moral dan karakter yang berasal dari Yunani, sedangkan Islam mengajarkan manusia berakhlak mulia berdasarkan petunjuk wahyu, Al-Quran dan As-Sunnah. Akhlak atau karakter Islam terbentuk atas dasar prinsip “ketundukan, kepasrahan, dan kedamaian” sesuai dengan makna dasar dari kata Islam.

Islam bukan hanya teori, tapi ada contoh. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh (uswah hasanah). Kata ‘Aisyah r.a, akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran.

Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn Miskawaih ((320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya, akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras. (Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, Beirut: Dar el Kutb al-Taymiyyah, 1405H/1985M)

Al-Ghazali (1058-1111M) yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak yang mirip dengan Ibn Miskawaih, yaitu bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah".(Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 2, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa, 2000, hlm.599)

Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1)

Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is knowledge … to be good at something os a matter of knowledge". (G.M.A. Grube, Plato’s Thought , USA: Hackett Publishing Company, 1980, hlm. 216-217). Plato (428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal yang lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi negarawan yang baik . Dalam bukunya yang terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya tentang pendidikan, bahwa agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan moral. “Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).

Emile Durkheim (1858 –1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat harus memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia mengatakan,“Society must have some good to achieve, an original contribution to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad counselor for collectivities as well was individual. When individual activity does not know where to take hold, it turns against itself. When the moral forces of a society remain unemployed, when they are not engaged in some work to accomplish, they deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile Durkheim, Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p. 13)

Karakter atau kehancuran
Thomas Lickona seorang pendidik karakter dari Cortland University, dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika. Ide-idenya diterapkan pada level pendidikan dasar dan mengengah. Lickona mengungkapkan, bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, membudayanya ketidak jujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/peer group, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja, dan adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.(Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York:Bantam Books,1992 ,hlm 12-22).

Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.(Ibid, hlm.23).

Sebenarnya, secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya. Namun seperti halnya banyak mata pelajaran lainnya, mata ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan. Jika ini dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar.

Oleh karenanya diperlukan usaha yang serius untuk meninjau kembali antara teori pendidikan moral dan karakter yang diajarkan di sekolah, dan bagaimana praktek yang terjadi dalam keseharian siswa di sekolah. Teori, yaitu mencakup dimensi dan kurikulum pendidikan karakter apa saja yang diajarkan di sekolah, bagaimana kualifikasi atau kriteria pendidik yang semestinya, bagaimana hal tersebut diajarkan, bagaimana sistem penilaian keberhasilan pendidikan karakter tersebut. Lalu, lebih penting lagi, bagaimana praktek nyata dari teori-teori itu dalam bentuk perilaku guru dan siswa di sekolah.
Juga, yang terpenting, adalah keteladanan pemimpin dan guru. Guru harus bisa menjadi contoh. Jika guru gagal menjadi teladan, jangan heran, jika pepatah klasik berubah ekstrim: guru kencing berlari, murid bisa mengencingi gurunya.

Jika tiada kesungguhan keteladanan, maka Pendidikan Karakter hanya akan menjadi slogan dan menambah daftar panjang daftar kefrustrasian program pendidikan. Na’udzubillahi min dzalika. (***)