Senin, 16 Mei 2011

Menjalin Kerukunan, Menjamin Keyakinan

oleh: Adian Husaini

“Menjalin kerukunan, menjamin keyakinan.” Itulah judul makalah yang saya sampaikan dalam acara dialog lintas agama dan Sosialisasi Peraturan-Peraturan Kerukunan Umat Beragama, yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Wilayah DKI Jakarta, Senin, 18/4/2011, di Cipayung Bogor.

Kepada para peserta, saya menekankan, bahwa meskipun terjadi sejumlah kasus dalam soal hubungan antar-umat beragama, dan juga internal umat beragama, sebenarnya secara umum, wajah kerukunan umat beragama di Indonesia tetaplah “cantik.” Kasus-kasus yang terjadi adalah ibarat “jerawat” di wajah yang cantik, yang perlu diselesaikan dengan baik; tetapi jangan sampai jerawat-jerawat it uterus-menerus dipelototi dan diekspose, untuk menutupi “wajah cantik” secara keseluruhan. Cara pandang semacam ini jelas tidak proporsional.

Sebagaimana pernah kita ungkapkan dalam CAP sebelumnya, pengungkapan kasus-kasus konflik antar umat beragama yang berlebih-lebihan, bukannya akan menyelesaikan masalah, tetapi justru memperparah kondisi. Film “?” karya Hanung Bramantyo yang diawali dengan penusukan seorang pastor di depan Gereja Katolik, seperti menggiring penonton untuk berimajinasi, kasus itu merupakan visualisasi kasus penusukan pendeta di Ciketing, Bekasi, beberapa waktu lalu. Adegan itu tentu saja berlebihan, meskipun tidak menyebutkan dengan jelas siapa pelakunya, sebab adegan itu dimunculkan bukan dalam “ruang yang kosong”.

Logikanya, umat beragama tentu menginginkan hidup rukun dan damai. Tetapi, harus diakui, dalam kehidupan antar manusia, potensi-potensi konflik itu pasti selalu ada. Dalam kehidupan suami-istri yang seagama saja, banyak potensi terjadinya konflik. Hidup manusia tidak ada yang sepi dari konflik. Manusia bukan Malaikat. Apalagi dalam hubungan antar-agama, dimana masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda.

Konflik yang lebih keras juga sering terjadi dalam kehidupan internal umat beragama. Di kalangan umat Islam, ada kelompok yang mengkafirkan orang lain yang berada di luar kelompoknya. Dalam beberapa hari terakhir, ada beberapa orang yang bertanya kepada saya tentang kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Seorang Ibu bercerita, seorang temannya mengajaknya untuk “bersyahadat ulang”, karena syahadat yang sudah dilafalkannya sehari-hari, dianggap belum sah. Si Ibu masih diharuskan melafalkan syahadat di depan seorang imam.

Ajaran seperti ini mengingatkan saya pada suatu kisah di tahun 1980-an, saat masih kuliah di IPB. Suatu ketika, teman serumah, membawa seorang Ustad ke rumah kos. Sang Ustad menjelaskan, bahwa selama ini syahadat saya tidak sah, karena belum disaksikan. Dia membacakan sejumlah ayat al-Quran tentang persaksian, seperti “Isyhaduu bi-anna muslimuun.”

Saya tanya, ayat mana yang menunjukkan bahwa “syahadat ulang di depan imam itu hukumnya wajib?” Sedangkan beberapa ayat al-Quran yang secara tegas berbentuk perintah (fi’il amar) dari Allah, jatuhnya justru mubah; bukan wajib. Misalnya, ayat “faidzaa qudhiyatish-shalaatu fan-tashiruu fil-ardhi”; (“jika setelah ditunaikan shalat Jumat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi”).

Saya katakan pada Sang Ustad, jika perintah yang jelas saja, bisa jatuh mubah hukumnya, bagaimana dengan status hukum suatu tindakan yang tidak jelas-jelas diperintahkan dalam al-Quran dan Sunnah, seperti hukum melafalkan “syahadat ulang”? Tampaknya Sang Ustad belum belajar atau tidak mau menggunakan Ilmu Ushul Fiqih dalam menentukan status hukum suatu perbuatan. Metode istinbath Sang Ustad adalah buatan kelompoknya sendiri.

Ujungnya, diskusi itu berakhir tanpa hasil. Sang Ustad pergi berlalu. Sejak itulah, saya semakin yakin, pentingnya kalangan mahasiswa Islam memahami berbagai macam Ulumuddin (Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya), agar tidak mudah menafsir-nafsirkan al-Quran secara sembarangan.

Konflik-konflik internal umat beragama juga terjadi di dalam Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya. Perbedaan dan konflik adalah bagian dari hidup manusia. Karena itu, untuk mewujudkan kerukunan, bukan berarti harus menghilangkan perbedaan. Termasuk dalam soal klaim kebenaran. Kerukunan justru menjadi indah, tatkala terwujud di tengah-tengah berbagai perbedaan.

Kerukunan umat beragama, baik intern atau antar umat beragama, adalah kondisi ideal yang diinginkan setiap umat beragama. Satu hal yang penting dicatat dalam soal pembangunan kerukunan umat beragama adalah, bahwa upaya mewujudkan kerukunan umat beragama, tidak boleh dilakukan dengan cara mengorbankan keyakinan masing-masing agama. Sebab, agama-agama itu ada berdiri di atas keyakinannya masing-masing. Dalam istilah sekarang: masing-masing agama memiliki truth claim (klaim kebenaran) masing-masing.

Islam memiliki ajaran-ajaran pokok yang berpijak atas dasar syahadat: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Islam mengakui Allah, sebagai satu-satunya Tuhan. Dan Muhammad adalah utusan Allah. Dalam Islam, Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir. Beliau (saw) mendapatkan wahyu yang kemudian terhimpun dalam al-Quran.

“Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah -- jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).

"Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam." (QS 3:19). "Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS 3:85).

Inilah keyakinan Islam. Keyakinan yang khas semacam ini juga ada pada agama lain. Kaum Kristen juga memiliki apa yang mereka juga sebut sebagai “syahadat” (Nicene Creed), yang dirumuskan tahun 325 M: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).

Kaum Kristen yakin bahwa Yesus mati di tiang salib. Yesus adalah salah satu dari “Tiga Oknum” dalam Trinitas. Ini sangat berbeda dengan konsep Islam yang menyatakan bahwa Isa a.s. adalah utusan Allah. Al-Quran menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6).

Paus Yohanes Paulus II menyatakan: ” Islam bukanlah agama penyelamatan (Islam is not a religion of redemption). Dalam Islam, kata Paus, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan Yesus. Yesus memang disebut, tetapi hanya sebagai nabi yang mempersiapkan kedatangan Nabi terakhir. Karena itulah, simpul Paus, bukan hanya dalam teologi, tetapi dalam antropologi, Islam sangat berbeda dengan Kristen. (not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity). Dan tentang al-Quran, Paus menyebutkan, bahwa siapa pun yang membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan kemudian membaca al-Quran, maka akan menemukan bahwa Kitab ini (al-Quran) mereduksi kedua Kitab itu.” (“Crossing The Threshold of Hope” (New York: Alfred A. Knopf, 1994).

Tahun 2006, Penerbit Media Hindu, menerbitkan buku berjudul Hindu Agama Terbesar di Dunia, yang membuat pernyataan tegas tentang keunggulan agama Hindu (hal.xi-xii):“Agama Hindu melayani keperluan setiap orang. Ialah satu-satunya yang memiliki keluasan dan kedalaman seperti itu. Agama Hindu mengandung Dewa-dewa, Pura-Pura yang suci, pengetahuan esoteric dari inti kesadaran, yoga dan disiplin meditasi. Ia memiliki kasih yang tulus dan toleransi dan apresiasi yang murni terhadap agama-agama lain. Ia tidak dogmatik dan terbuka untuk diuji….Dan ingat Hindu bukanlah agama missi yang agresif seperti Kristen atau Islam…”

Jadi, klaim-klaim yang khas pada tiap-tiap agama adalah sesuatu yang wajar, sehingga tidak mungkin dihilangkan. Upaya untuk menghapus truth claim pada tiap agama, untuk membangun satu teologi bersama yang membenarkan semua teologi agama, dikenal sebagai konsep “Teologi Abu-abu” (Pluralisme Agama). Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang, dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), menulis, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’

Demikianlah, kerukunan umat beragama, tidak mungkin dibangun di atas konsep menghapus klaim kebenaran pada tiap-tiap agama. Biarlah keyakinan masing-masing tetap terjamin, sementara kerukunan harus terjalin. Justru itulah hakekat “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda keyakinan tetapi tetap merrupakan satu bangsa. Menghormati keyakinan masing-masing bukan berarti mencampuradukkan atau merusak keyakinan agama-agama.

Justru, kerukunan akan terasa lebih indah dan bermakna, saat kerukunan itu terwujud di atas perbedaan klaim-klaim kebenaran. Klaim terhadap kebenaran pada masing-masing agama perlu dihormati, dan tidak bisa dipaksa untuk dihapuskan. Islam melarang umatnya untuk memaksa orang lain memeluk Islam, sebab telah jelas, mana yang haq dan mana yang bahil.

Kristenisasi dan Islamisasi
Tidak dapat dipungkiri, ada dua isu sentral yang menjadi “wacana panas” dalam soal kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya antara umat Islam dan kaum Kristen. Masalah ini sebaiknya dibicarakan secara fair dan terbuka agar tercapai satu kesepakatan bersama. Tentu sangatlah tidak mudah memecahkan masalah ini. Pada tahun 1969, acara Musyawarah antar Umat Beragama, juga gagal menyepakati satu Piagam Kerukunan tentang masalah penyebaran agama.

Bagi kaum Kristen, misi Kristen dipandang sebagai satu kewajiban asasi. Tokoh Protestan, Dr. AA Yewangoe, menegaskan: “Agama tanpa misi bukanlah agama… Tanpa misi, gereja bukan lagi gereja.” (Suara Pembaruan, 26/12/2005). Dalam buku “Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini” (1964), tokoh Kristen Indonesia, Dr. W.B. Sidjabat, menulis bab khusus tentang tantangan Islam bagi misi Kristen di Indonesia: “Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus menghadapi “challenge” Islam dinegara gugusan ini… W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, (Badan Penerbit Kristen, 1964), hal. 133-135.

Dalam ‘Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI) yang diputuskan dalam Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29 November-5 Desember 2004, pada bagian ‘’Bab IV : Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk’’, menegaskan: “Gereja Harus Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk”. Disebutkan dalam bagian ini : ‘’Gereja-gereja di Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya : bahwa Injil yang seutuhnya diberitakan kepada manusia yang seutuhnya... ‘’

Misi Katolik. Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan pada 8 Desember 1975. Di dalam dokumen ini disebutkan:

“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”

Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang diberi judul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang juga diterbitkan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:

“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”

Jadi, bagi kaum Kristen, menjalankan misi Kristen adalah satu kewajiban asasi yang menurut mereka wajib ditunaikan. Hal yang senada juga ada pada ajaran dakwah dalam Islam. Umat Islam wajib berdakwah, menyeru muslim dan non-Muslim untuk berpegang kepada kebenaran. (QS 3:104). Nabi Muhammad saw juga sangat aktif dalam berdakwah kepada non-Muslim, mengajak mereka untuk kembali kepada Tauhid, yakni hanya menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah dengan yang lain (QS 3:64).

Nabi Muhammad saw pernah berkirim surat kepada Heraclius (Kaisar Romawi), yang isinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah untuk Heraclius Kaisar Romawi yang agung. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Selain itu, sesungguhnya aku mengajak Tuan untuk masuk Islam. Masuklah Tuan ke dalam Islam, maka Tuan akan selamat dan hendaklah Tuan memeluk Islam, maka Allah memberikan pahala bagi Tuan dua kali dan jika Tuan berpaling, maka Tuan akan menanggung dosa orang orang Romawi.”

Jadi,bisa dikatakan, adalah bisa dimengerti jika orang Kristen berusaha melakukan Kristenisasi dan orang Muslim melakukan Islamisasi. Dalam konteks seperti inilah, untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, maka diperlukan sikap saling memahami dan adanya kesepakatan akan satu tata aturan main atau kode-etik dalam penyebaran agama, agar tidak terjadi benturan yang merusak kerukunan umat beragama. Kesepakatan dan kesepahaman ini membutuhkan dialog yang terus-menerus, sebab masalah penyiaran agama ini merupakan hal yang sensitif.

Kristenisasi, misalnya, bukan hanya sangat sensitif bagi orang Muslim, tetapi juga bagi umat agama lain. Tokoh Hindu India, Mahatma Gandhi, juga dikenal sangat kritis terhadap gerakan misi Kristen di India. Pada bulan April 1931, dia pernah melontarkan komentar soal misi asing di India: “If instead of confining themselves purely to humanitarian work and material service to the poor they limit their activities, as at present, to proselytising by means of medical aid, education, etc. then I would certainly ask them to withdraw. Every nation’s religion is as good as any other’s. Certainly India’s religions are adequate for her people. We need no converting spirituality.” (John C.B. Webster, ‘Gandhi and the Christians: Dialogue in the Nationalist Era’, in Harold Coward (ed.), Hindu-Christian Dialogue: Perspectives and Encounters, (New York: Orbis Book, 1989), hal. 80-88).

Jadi, Kerukunan umat beragama memang membutuhkan usaha yang serius. Perbedaan antar agama tidak mungkin dihapuskan, sebab agama-agama itu ada memang karena adanya klaim atas kebenaran masing-masing. Kerukunan umat beragama bisa tetap terjalin, dengan tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Justru, itulah indahnya sebuah kerukunan. Berbeda-beda tetapi tetapi rukun jua. (Depok, 27 April 2011).

Senin, 18 April 2011

Tradisi Keilmuan dan Iklim Intelektual Islam di Andalusia di Abad Pertengahan

Epistemologi sains dapat dipahami melalui terutama sifat kognitifnya. Sementara itu tradisi adalah suatu fenomena social yang timbul dari tatanan sosial alam manusia dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami dar aspek kognitif sains. Hal ini memudahkan untuk menentukan dasar kognitif, atau epistemis sains dari aspek sosialnya. Tradisi keilmuan pada dasarnya merupakan fondasi dari pembentukan ilmu-ilmu di dalam suatu peradaban (atau masyarakat).
Ketika semangat intelektual dan spiritual benar-benar mengisi relung-relung kehidupan umat Islam, terutama kelangan ilmuwannya, maka kontribusi Islam di bidang ilmu pengetahuan mempunyai dasar yang kokoh. Sebuah peradaban yang menggabungkan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai keimanan.
Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dunia Islam ketika itu berhasil mentrasfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban lain, seperti Yunani, India, Cina, Persia, dan sebagainya. Tetapi, para ilmuwan Muslim tidak begitu saja menjiplak karya-karya ilmuwan Yunani atau yang lain. Bahkan menurut Prof. Cemil Akdogan, ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang “khas Islam”, yang berbeda dengan tradisi ilmu pengetahuan Barat atau peradaban lain. Di zaman keemasan peradaban Islam itulah, banyak peradaban lain yang belajar, khususnya bangsa Barat. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum Muslim dengan aman. Tempat yang paling berkontribusi dalam proses transfer ilmu dan pengetahuan ini adalah Andalusia, yang sekarang lebih dikenal sebagai Spanyol.
Dalam buku “What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization”, Tim Wallace menyatakan bahwa pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. “Life for the majorit of people in mainland Christian Europe was shor, brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned and tolerant regime in Islamic Spain.” Jadi, kata Tim Wallace, bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa, kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam.
Islam mulai bersinar di bumi Andalusia, pada 711 M, ketika Tariq bin Ziad mendarat dengan 12.000 pasukannya. Secara resmi, keberadaan Islam secara politis runtuh pada 25 November 1491 M, tatkala kunci kota Granada diserahkan kepada Ferdinand dan Isabela. Diantara dua titik tersebut, sejarah telah berjalan hampir 800 tahun. Selama itu pula proses Islamisasi telah berhasil melahirkan hakikat ilmu pengetahuan. Dalam masa ini pula kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan, pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Spanyol adalah negeri yang subur, dan kesuburan itu yang mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir-pemikir handal.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
Islam di Spanyol telah membentuk sebuah peradaban yang luar biasa. Islam di Spanyol dapat dikatakan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan Yunani-Arab dan Eropa, khususnya masalah filsafat. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M, selama pemerintahan penguasa Bani Umayah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Nama filsafat Islam yang sebenarnya adalah hikmah. Istilah hikmah disebut sekitar 20 kali dalam Al-Qur’an dan maknanya sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional, filsafat masih dipahami sebagai hikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para Wali. Bahkan banyak orang yang tidak sadar bahwa pemikiran filsafat dalam Islam bias ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, Kalam, Usul al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan matematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Pada kenyataanya, filsafat yang berkembang di Andalusia memberikan dampak besar, terutama pada Eropa Barat.
Pemikiran filsafat yang paling berpengaruh terhadap Eropa Barat adalah pemikiran dari Ibnu Rusyd. Secara umum, semua yang dituju oleh Ibnu Rusyd adalah untuk menjelaskan bahwa hakekat syara’ sama dengan hakikat akal. Pendapat ini menyusup dengan sangat cepat ke dalam dunia Kristen, seperti yang sering dikatakan oleh sejarawan kontemporer. Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd, dianggap oleh Kristen Eropa sebagai biang keladi dari gerakan zindik dan bid’ah di dalam tubuh gereja.
Begitu juga dengan pemikir sosial dan sejarah, Ibnu Khaldun. Banyak penulis kontemporer yang menyebutnya sebagai orang pertama yang menjadi penyusun dan mengemukakan sosiologi dan sejarah modern. Khusus mengenai sejarah, Ibnu Khaldun tidak saja ingin menghadirkan masa lampau itu dalam format yang lebih utuh yang memang menjadi profesi sejarawan, tapi juga mau berangkat lebih jauh: menjadikan sejarah sebagai panggung moral.
Dalam bidang sains, peradaban Islam Andalusia memberikan sumbangan besar pada dunia. Asal-usul sains modern, atau Revolusi Ilmiah, berasal dari Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam adalah pionir sains modern. Berkembangnya Islam di Andalusia, dibarengi dengan berkembangnya sains disana, yang mana memberi dampak sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, khususnya Eropa Barat. Ilmu-ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, dan lain-lain berkembang dengan baik.
Dalam bidang bahasa dan sastra, Andalusia menggunakan bahasa arab. Bahasa arab telah menjadi bahasa afministrasi dalam pemerintahan Islam di Andalusia. Hal ini dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Seiring dengan kemajuan dalam bidang bahasa, karya-karya sastra banyak bermunculan, seperti al-‘Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah karya Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid buah karya Al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi yang lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban di Andalusia ini merupakan jembatan yang mengantarkan masa kebangkitan Barat setelah dalam tidurnya selama berabad-abad. Proses transformasi ini selain melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran di Andalusia, juga berlangsung melalui pedangang-pedagang Muslim Sicilia, dan tentara Salib. Merekalah yang membawa peradaban Islam ke Barat.
Jika kita renungi kembali catatan sejarah yang ada mengenai Andalusia dan umat Muslim, sulit dibayangkan dunia Barat berkembang begitu pesat seperti sekarang jika peradaban Islam tidak mencapai Eropa pada abad ke-8. Dunia saat ini semestinya berterima kasih dan mengakui secara objektif bagaimana umat Islam telah memberikan banyak sumbangan nyata yang membangun bagi seluruh peradaban modern.

Rabu, 06 April 2011

Liberalisme dan Feminisme

Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?

Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.

Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
***
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.

Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).

Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.

Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.

Kamis, 24 Maret 2011

Sejarah Gelap Para Paus

Oleh: Adian Husaini

“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.

“Benediktus IX, salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’. (hal.9)

Itulah sebagian gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci. Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.

Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.

Kejahatan Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa. Bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya, John Gratian. Gara-gara itu, disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.

Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun 904. Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun.

Sergius III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:

“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”

Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi). Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).

Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.

Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya.

Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.

Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.

Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya, menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.

Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.

Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.

Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.

Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.

Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.

Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).

Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.

Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.

Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar -- atau memberi gelar untuk dirinya sendiri – sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.

Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang amanah -- sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian -- maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.

Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan lari dari mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.*/Depok, 20 Maret 2011

Ahlul Kitab: Dulu dan Kini

oleh: Adian Husaini
”Sesungguhnya agama yang diakui Allah adalah al-Islam. Dan tidaklah kaum yang diberi al-Kitab itu berselisih paham, kecuali setelah datangnya bukti yang meyakinkan karena kedengkian di antara mereka.” (QS Ali Imran: 19).

AL-Quran juga menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang tidak sama. Ada yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad saw. Jumlahnya sedikit (QS 2:88). Tetapi sebagian besar fasik. (QS 3:110). Di zaman Rasulullah saw, ada dua tokoh Yahudi yang terkemuka yang akhirnya memeluk Islam, beriman kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Keduanya, yakni Hushein bin Salam dan Mukhairiq, menjadi bahan cemoohan kaumnya sendiri. Jika sebelumnya mereka sangat dihormati, setelah masuk Islam, mereka dikucilkan.

Moenawar Khalil, dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw (Jakarta: GIP, 2001), menceritakan, Hushein bin Salam kemudian diganti namanya oleh Rasulullah saw menjadi Abdullah bin Salam.

Dia pernah membuktikan bagaimana sikap kaumnya terhadap dirinya. Suatu ketika, kaum Yahudi datang kepada Rasulullah, saat Abdullah bin Salam sedang di sana. Dia berpesan kepada Rasulullah agar menanyakan kepada kaumnya, bagaimana pandangan mereka terhadap dirinya. Saat kaum Yahudi datang, Rasulullah saw bertanya pada mereka, bagaimana pandangan mereka terhadap Husein. Yahudi menjawab: ”Ia adalah sebaik-baik orang kami dan sebaik-baik anak lelaki orang kami. Ia adalah semulia-mulia orang kami dan anak lelaki dari seorang yang paling alim dalam golongan kami, karena dewasa ini di kota Madinah tidak ada seorangpun yang melebihi kealimannya tentang kitab Allah (Taurat).”

Kaum Yahudi itu memuji-muji Abdullah. Kemudian Abdullah muncul dan mengajak kaum Yahudi untuk beriman pada kenabian Muhammad saw. Abdullah mengatakan kepada kaumnya, bahwa mereka sebenarnya telah memahami Muhammad adalah utusan Allah, sebab sifat-sifatnya telah disebutkan dalam Kitab mereka.

Mendengar ucapan Abdullah bin Salam, kaum Yahudi berbalik mencaci maki, dan menuduhnya sebagai pendusta. Sebab, dia sudah tidak lagi memeluk agama Yahudi. Ketika itu, turunlah wahyu kepada Rasulullah saw: ”Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur'an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur'an lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim".(QS Al-Ahqaf ayat 10)

Setelah kabar keislaman Abdullah bin Salam tersiar di kalangan kaum Yahudi, maka mereka dengan congkak dan sombong mengata-mengatai, mencaci-maki, menghina, menjelek-jelekkan dan memusuhinya dengan sekeras-kerasnya. Abdullah bin Salam tidak mempedulikan caci maki keluarga dan kaumnya. Dia terus bertahan dalam Islam dan termasuk sahabat Nabi dari kaum Anshar. Ia meninggal tahun 43 H di Madinah, di masa Khalifah Mu’awiyah.

”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 113-115)

Abdullah bin Salam termasuk diantara kaum Yahudi yang menyimpang dari tradisi kaumnya yang menolak kenabian Muhammad saw. Ia berani menentang tradisi kesombongan kaumnya sendiri. Di antara kaum Yahudi, ada juga yang berani mengkritik ajaran agamanya dan praktik-praktik kebiadaban kaumnya sendiri, meskipun mereka tidak sampai memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Dr. Israel Shahak. Guru besar biokimia di Hebrew University ini memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja menyaksikan kejahatan kaumnya. Suatu ketika, saat dia berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.

Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi – semacam majlis ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi. Lagi-lagi, Prof. Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”. Prof. Shahak menulis: ”The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed piously.”

Kasus itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku berjudul Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994). Dalam penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.”

Sebagai satu ”negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”, tidak peduli dimana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to persons who are defined bu the Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them alone.”

Dr. Israel Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru sering diabaikan. (***)

Senin, 14 Februari 2011

Ibn Rusyd dan Kemajuan Barat

Kaum santri mengenalnya sebagai ahli fikih. Cendekiawan Arab modern mengaguminya sebagai ahli filsafat. Sejarawan Eropa mengenangnya sebagai ‘jembatan pengetahuan’ antara Timur dan Barat, penghubung antara Islam dan Kristen dom. Dialah Ibn Rusyd alias Averroes, tokoh yang belakangan disebut-sebut sebagai perintis gerakan pencerahan di Barat, idola baru kaum liberal dewasa ini.

Beberapa abad terkubur dalam limbo sejarah, sosok Ibn Rusyd kini seolah-olah hidup kembali. Adalah Ernest Renan yang pertama kali mengungkit semula ketokohan Ibn Rusyd lewat karyanya: Averroèsetl’Averroïsme. Menurut intelektual Perancis berdarah Yahudi itu, Ibn Rusyd adalah peletak batu pertama rasionalisme Eropa. Dengan fasih diceritakannya riwayat hidup Ibn Rusyd serta nasib akhir warisan pemikirannya di dunia Islam dan di Eropa. “Suatuhari, Ibnu Thufayl memanggilku dan berkata: ‘Hari ini aku mendengar Amirul

Mu’minin (Abu Ya‘qub Yusuf, penguasa Kordoba waktu itu) mengeluh tentang sukarnya memahami Aristoteles maupun penerjemah-penerjemahnya. Ia berharap semoga ada seseorang yang mau menerangkan maksud buku-buku itu agar mudah dipahami oleh masyarakatluas. Nah, kulihat engkau punya kemampuan untuk melakukannya, maka kerjakanlah. Dengan ketinggian akalmu, ketajaman nurani dan ketekunanmu dalam mencari ilmu, aku yakin engkau dapat melaksanakan itu semua. ’Maka semenjak itu mulailah aku berkonsentrasi, dengan saran dan dorongan IbnuThufayl, menulis komentar atas karya-karya Aristoteles” (hlm. 17).

Namun roda nasib berputar mengubah posisinya. Setelah bertahuntahun menikmati hubungan akrab dengan para penguasa dan memegang jabatan-jabatan penting di Andalusia, Ibn Rusyd akhirnya hidup dalam pengasingan di Elisana alias Lucena, sebuah kota kecil dekat Kordoba yang mayoritas penduduknya adalah Yahudi. Dari sinilah kemudian timbul pelbagai fitnah dan purbasangka. Sampai-sampai ada yang menuduhnya keturunanYahudi, lantaran salah seorang muridnya di situ adalah Musa ibn Maymun alias Maimonides, rabbi filsuf yang terkenal pula. Dugaan ini ditepis oleh Renan dengan alasan jabatan Hakim Agung (Qadhi) mustahil diberikan kepada orang Yahudi. Mengingat ayah dan kakeknya yang juga bergelar Ibn Rusyd pun pernah menjabat Qadhi, maka Ibn Rusyd jelas aslik eturunan Arab (hlm. 20).

Karya Renan itu segera diterjemahkan ke dalamb ahasa Arab dan disambut meriah oleh sejumlah cendekiawan Arab yang sudah kehilangan jatidiri akibat penjajahan ratusan tahun oleh bangsa-bangsa Perancis, Inggris dan Italia. Banyak cendekiawan terpukau oleh kehebatan tuan-tuan penjajahnya dan putus asa melihat keterpurukan nasib bangsanya. Kekalahan pahit dalam perang melawan Israel menambah panjang daftar kekecewaan mereka. Karya Renan menjadi obat penawar duka. Dengan membacanya mereka temukan pusaka yang hilang. Murad Wahbah (1979) pun berseru: “Pemikiran Ibn Rusyd telah memajukan peradaban Barat, padahal di dunia Islam justru ditolak. Barangkali itulah sebabnya di dunia Islam tidak terjadi ‘kelahirankembali’ (Renaissance) dan ‘pencerahan’ (Aufklärung).” Murad meratapi apa yang dibayangkannya sebagai kematian akal Arab, atau la raison islamique, bersama intelektual sekular-liberal semisal Syibli Syumayyil, Farah Antun, Salamah Musa (dari kalangan Kristen) serta Mohammed Arkoun, Abid al-Jabiridan Nasr Hamid Abu Zayd. Seruan inilah yang belum lama dikoarkan lagi oleh seorang aktivis liberal di Indonesia dalam artikelnya, “Ibn Rushd sebagai Model Peradaban Islam,” di harian Kompas (2/9/2006).

* * *

Tidak banyak yang tahu kalau idolisasi Ibnu Rusyd yang riuh-rendah sekarang ini sebenarnya bersandar pada TIGA MITOS isapan jempol. Pertama, mitos bahwa bangsa-bangsa Eropa itu maju sains dan teknologinya lantaran menganut Averroisme atau mengikuti pemikiran Ibn Rusyd. Mereka yang mengerti sejarah intelektual Barat akan terkejut mendengar klaim begini. Pasalnya, revolusi sains di Eropa biasanya dikaitkan dengan teori Copernicus yang menyangkal geosentrisme atau hasil eksperimen Galileo yang menyanggah teori gerak Aristoteles, yaitu pada abad ke-15 dan ke-16.
Keduanya dimungkinkan oleh semakin kuatnya gelombang penolakan terhadap teori-teori fisika Aristoteles yang diusung oleh Ibn Rusyd. Artinya, mereka maju justru dengan menolak Aristotelianisme dan Averroisme. Sebagaimana dinyatakan oleh Frederick Coplestone (1953): “In the following (14th) century, criticism of Aristotle’s physical theoriescoupled with further original reflection and even experiment led to the putting forward of newexplanations and hypotheses in physics” (Lihat: A History of Philosophy: Late Medievaland Renaissance Philosophy, 3:16).

Paradigma sains Aristotelian yang bersifat deduktif dan cenderung deterministik memang bertolak-belakang dengan semangat sains modern yang lebih mengedepankan metode induktif, eksperimental dan empiris. Bahwa kesetiaan Ibn Rusyd pada teori-teori Aristoteles justru dianggap menghambat kemajuan sains modern diakui oleh Renan sendiri: “L’aristotélismearabe, personifiédans Averroes, etaitun des grands obstacles querencontraientceux qui travaillaientalorssiactivement à fonder la culture modernesur lesruines du moyenâge” (hlm. 383).

Kedua, mitos bahwa Ibnu Rusyd itu mengajarkan dua macam kebenaran atau ‘kebenaran ganda’ (veritas duplex). Meski tak jelas siapa yang pertama kali melontarkannya, doktrin ini lebih tepat dinisbatkan kepada cendekiawan Barat yang menggelayuti Ibn Rusyd di Abad Pertengahan seperti Sigerdari Brabant, Boethius dari Dacia, Goswindari Chapelleatau Giordano Bruno. Mereka inilah yang menyuburkan kesalahpahaman terhadap Ibn Rusyd dengan mencatut namanya tatkala terjadi benturan antara filsafat dengan teologi, antara sains dan agama.

Sebabnya dalam tradisi Kristen selalu terjadi ketegangan antara saintis dan agamawan. Otoritas Ibn Rusyd dipakai untuk memukul dogmatisme Gereja. Ibn Rusyd sendiri sebenarnya meyakini bahwa kebenaran itu tunggal, meskipun cara manusia mencapai kebenaran yang satu itu bisa berbeda-beda sesuai dengan tingkatan akal masing-masing. Ada metode rhetorik (khithabi) yang lebih umumnya dipakai masyarakat awam. Ada metode dialektik (jadali) yang biasa digunakan oleh kaum terpelajar, teolog dan golongan sophist (yang suka memelintir dan mengelabui kebenaran). Dan ada metode demonstratif (burhani) yang lebih cocok untuk para filsuf dan saintis. Begitu menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Fashl al-Maqalfimabayn al-Hikmahwa s-Syari‘ahmin al-Ittishal.

Ketiga, mitos bahwa Ibnu Rusyd itu seorang ilmuwan sekular-liberal. Pencemaran nama baik Ibnu Rusyd bermula sebelum beliau diasingkan ke perkampunganYahudi. Kedengkian lawan-lawannya telah mengobarkan kebencian di kalangan penguasa dan masyarakat luas. Konon mereka temukan dalam tulisannya sebuah kalimat yang menyatakan ‘Venus adalah tuhan’. Mereka lalu menunjukkan itu kepada Amir al-Manshur seraya mendakwanya sebagai musyrik dan zindik. Ibnu Rusyd lantas dipecat dan diusir. Buku-bukunya dibakar.

Apakah itu semua bukti kesekularan dan keliberalan Ibn Rusyd? Di sini kita mesti cermat dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan. Banyak penjahat yang hidup nyaman, dan banyak orang soleh yang hidup menderita. Ibnu Rusyd adalah seorang alim yang taat, penegak dan pembela Syari‘at Islam, walaupun kesohor sebagai dokter dan filsuf. Ibnu Rusyd memang kerap memakai logika dalam mengupas dan menguraikan pelbagai masalah keilmuan. Akan tetapi, dia bukanlah penganjur liberalisme atau free-thinking. Meski banyak mengkritik pandangan ulama Asy‘ariah (terutama Imam al-Juwayni dan Imam al-Ghazali), Ibnu Rusyd tidak pernah menunjukkan ketidakberadaban dan kejahilan.

Penting pula diketahui bahwa Averroisme bukanlah satu-satunya mazhab pemikiran dan bukan pula yang paling dominan di Eropa abad Pertengahan. Aliran-aliran lain yang ikut bersaing dan berebut pengaruh adalah Platonisme, Augustinisme, Avicennisme dan Alexandrisme. Mereka yang menggugat dan menolak pemikiran Ibnu Rusyd cukup banyak, termasuk William Auvergne, Albertus Magnus,St. Bonaventura, ThomasAquinas, Gilles dari Roma, William Ockham, Piccodella Mirandola, dan Raimundus Lullus. Yang disebut terakhir ini bahkan menulis buku khusus berjudul Liber dereprobationeerrorum Averrois.

Karena ditentang sedemikian rupa, maka tak mengherankan jika Averroisme akhirnya kalah dan tenggelam ditelan zaman sampai datangnya Renan. “Latin Averroism in all its various forms, after blossoming for onelast time in the Italian universities of the sixteenth century, declined without leaving significant traces, only to reappear in the guise of a historiographical cause célèbre in Ernest Renan’s renowned (andnotorious) Averroès et l’Averroïsme,” demikian bunyi ikhtisar konferensi internasional tentang Renaissance Averroism and Its Aftermath yang diselenggarakan Warburg Institute London pada 20-21 Juni 2008 lalu.

Sekarang jelaslah bahwa sejarah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Barat tidak sesederhana yang sering digembar-gemborkan, terutama soal kaitannya dengan Averroisme. Tanpa bermaksud mengecilkan apa lagi mengingkari kontribusi monumental Ibn Rusyd dalam memberikan pencerahan atas tradisi intelektual Yunani kuno, ada faktor-faktor lain yang boleh jadi lebih signifikan mendorong kemajuan peradaban Barat.

Bahwa Ibnu Rusyd tetap mengamalkan Syari‘at Islam dan tidak tergolong liberal dibenarkan oleh IbnuTaymiyyah: “IbnuRusyd dan semacamnya masih lebih dekat ke Islam daripada Ibnu Sina dan semisalnya, karena masih menjaga batas-batas agama ketimbang mereka yang mengabaikan kewajiban dan melanggar aturan agama”(Lihat: Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1:252). (***)