Kamis, 10 Juni 2010

Melihat Kembali Identitas Politik Islam

“Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al Hajj, 41)

Istilah politik (politics) sering dikaitkan dengan bermacam-macam kegiatan sampai dalam sistim politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan tujuan sampai dalam melaksanakan tujuan tersebut. Disamping itu, juga menyangkut pengambilan keputusan (decision making) tentang apakah yang menjadi tujuan sistim politik yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif serta penyusunan untuk membuat skala prioritas dalam menentukan tujuan-tujuan itu.

Seperti ilmu-ilmu lain dalam Islam, ilmu atau teori politik Islam bersumber dan diderivasi dari Al-Qur’an. Mungkin ini dianggap berlebihan, tapi sebenarnya tidak. Sebab politik menyangkut banyak bidang kehidupan sosial termasuk politik. Meski ayat-ayat itu baru berupa seminal konsep, namun jika dipahami dengan penalaran yang cerdas akan menemukan prinsip luhur berpolitik. Konsep-konsep seminal dalm ayat-ayat itu berkaitan antara satu dengan yang lain dan membentuk struktur konsep yang sistemik. Sebagai contoh, konsep khaliafah di bumi (Q.S. Al-Baqarah, 30; An-Nur, 55; An-Naml, 62; As-Sad, 26; Al-An’am, 165), berkaitan erat dengan konsep hukum dan keadilan (Q.S. An-Nisa, 58, 105, 135; Al-Maidah, 6) dan juga kepemimpinan (Q.S. Ali Imran, 118; An-Nisa, 49; As-Syu’ara, 150-152). Masalah kepemimpinan berkaitan dengan masalah musyawarah (Q.S. Ali Imran, 159). Prinsip persatuan dan persaudaraan (Q.S. Ali Imran, 103; Al Hujurat, 10) berkaitan dengan prisnsip persamaan (Q.S. An-Nisa, 1), tolong menolong, membela yang lemah (Q.S. Al-Maidah, 2; At-Taubah, 11), perdamaian dan peperangan (Q.S. An-Nisa, 89-90) dan lain sebagainya yang sangat komplek.

Pembaca awam terhadap ayat-ayat tersebut tentu tidak akan menemukan perintah eksplisit wajibnya melaksanakan atau mewujudkan politik Islam. Tapi perintah-perintah untuk menaati pemimpin, bermusyawarah, melaksanakan hokum, berlaku adil, amanah dan bertanggung jawab serta prinsip moral sosial lainnya dapat dipahami sebagai perintah implisit dan bahkan bisa wajib hukumnya. Perintah untuk mendirikan atau mewujudkan sekolah, universitas atau ekonomi Islam juga tidak secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur’an, tapi mencari ilmu dan berakhlaq mulia serta makan harta halal adalah wajib. Sarana untuk menjalankan yang wajib hukumnya adalah wajib pula. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. mendirikan Negara Madinah sebagai sarana untuk melaksanakan perintah yang lain (disebut sebagai Siyasat-ur-Rasul).

Siyasah sebagai Jalan Politik Islam

Istilah teknis untuk menjalankan perintah-perintah itu baik yang berasal dari Al-Qur’an atau yang tidak disebut siyasah. Istilah ini dapat berarti mengatur, mengurus dan memerintah, dan dapat juga berarti pemerintah dan politik atau membuat kebijaksanaan. Ibn Aqil secara tegas mengatakan bahwa yang disebut siyasah adalah perbuatan yang membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan menghindarkan diri dari kerusakan walaupun Rasul tidak menetapkannya dan Allah tidak mewajibkannya. Secara umum, siyasah dapat disamakan dengan politik.

Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, praktek Nabi di Madinah, sebenarnya telah dapat diformulasikan menjadi teori politik Islam. Bahkan di zaman para sahabat yang mengalami beberapa konflik itu pun masih dapat dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam Islam dan dapat dibingkai dalam system politik Islam. Terlepas dari terjadinya konflik, perlu digaris bawahi, bahwa semua kelompok yang bertikai sama-sama mempertahankan prisnsip-prinsip syariah dan bukan karena ambisi kekuasaan dan kepentingan yang bersifat pribadi atau materi. Jika tidak, tentu hadith Nabi yang mensinyalir bahwa sebaik-baik zaman adalah zaman Nabi, kemudian zaman Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in menjadi tidak masuk akal.

Di zaman terbaik itu, khususnya sesudah Nabi wafat, masalah politik Islam yang paling menonjol dan mengemuka adalah konsep kepemimpinan (imamah, khilafah, bay’ah), sehingga sering dibahas oleh para ulama. Ini tidak lepas dari karakter masyarakat Islam yang meletakkan peran pemimpin begitu sentral dan menentukan. Peristiwa di Tsaqifah Bani Saidah adalah pelaksanaan syura pertama dalam Islam sesudah Nabi wafat dan merupakan tonggak penting bagi sejarah politik Islam, karena di sana disepakati siapa yang menjadi pemimpin pengganti (khalifah) Rasulullah.

Dalam perjalanan sejarah, banyak pemikir Muslim yang membahas masalah politik dan Negara, diantaranya adalah Al-Farabi, Al-Baqillani, Al-Ghazzali, Ibn Tamiyah, Ibn Khaldun dsb. Para pemikir Islam tersebut memiliki pandangan yang khas terkait masalah politik, namun terdapat satu perhatian besar bagi mereka, yakni masalah kepemimpinan dan ikatannya dengan Islam. Ghazzali berpendapat bahwa Negara adalah institusi yang haru ada, tanpanya kehidupan dan peradabannya akan kacau. Negara ini pun tergantung pada faktor kepemimpinannya.

Bagaimana suatu Negara menjaga masyarakat berdasarkan ideologinya ditentukan oleh keterampilan berpolitik pemimpinanya. Itulah sebabnya Al-Ghazzali menganggap politik sebagai skill yang terpenting dan paling mulia (afdal) dibanding keterampilan lain, seperti berdagang. Inilah yang melatarbelakangi mengapa konsep kepemimpinan juga menjadi perhatian khusus Ghazzali. Termasuk dalam bab kepemimpinan ini, Ghazzali juga membahas organisasi dan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab memegang amanah itu. Tidak beda dari ulama lainnya, pemimpin dalam konsep Ghazzali harus dipilih berdasarkan prinsip Syari’ah. Landasan mengapa pemimpin dan keterampilan berpolitik serta moralitasnya sangat penting dalam Islam merujuk pada keteladanan Rasulullah sendiri. Nabi tidak bisa hanya dianggap sebaga pemimpin agama yang mengurus mesjid dan ritual peribadatan saja. Nabi adalah kepala Negara Madinah, pemimpin perang, pengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang serta pelindung mereka.

Citra Politik Islam

Belakangan ini, citra poltik Islam tampak di mata dunia tidak lebih dari serial panjang kekejaman, kebiadaban, barbarism, dan kekacauan. Citra buruk seperti itu selama beberapa abad telah mengendap di sebagian besar benak masyarakat dunia, terutama di masyarakat Barat. Tampaknya, Barat dalam konteksnyadengan dunia Islam, tidak pernah mengalami pengenduran dalam upayannya membentuk dan sekaligus mengendepankan citra buruk Islam dan kaum Muslimin ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Tidak banyak yang tertarik mengkaji dan menggali teori politik Islam dari praktek kehidupan politik di masa lalu. Bukan hanya itu, praktek politik di Negara-negara Islam juga tidak selalu mengacu kepada teori politik yang telah dibangun para ulama di masa lalu. Latar belakang ini semua tidak lari dari dua faktor: faktor internal umat Islam yang kehilangan dinamika tradisi keilmuan mereka dan faktor eksternal yang disebabkan oleh derasnya arus pemikiran Barat yang menghegemoni pemikiran dan praktek politik Islam.

Hal di atas senada dengan pendapat Abu Ridho yang menyatakan bahwa upaya pembentukan dan pengendapan citra buruk terhadap Islam itu bukan tidak disengaja, bahkan sebagiannya justru dijadikan sebagai musuh bersama dunia yang tujuannya selain kolonialisme dan imperialism juga sebagai pelampiasan dendam. Meski tidak menutup mata, bahwa sebagian lagi disebabkan oleh kurangnya pemahaman non-Muslim tentang konsep-konsep Islam, termasuk konsep politik Islam, atau dikarenakan gagalnya kaum Muslimin menampilkan citra politiknya yang orisinal di zaman modern sekarang ini.

Memang, pada mulannya Muslim berkeyakinan bahwa Islam itu adalah politik. Namun ketika konsep-konsep dan faham-faham politik Barat sekuler itu bercampur dengan atau menggantikan konsep dan paham yang telah dimiliki oleh dunia Timur, Muslim mengalami kebingungan konseptual, konflik internal dan konflik identitas. Akibat yang kini banyak bermunculan adalah kalangan “cendikiawan” Muslim yang cenderung untuk mengidentikan Islam dengan setiap bentuk teori politik modern, betapapun di dalam substansi atau hakekatnya terdapat berbagai kerancuan dan ketidak-sesuaian. Bahkan Muslim justru mengagungkan sistim politik Barat dan membuang warisan sistim politik Islam dengan ala-Barat itu berasal dari Islam atau pengembangan dari yang dimiliki umat Islam.

Dalam realita, hal tersebut memang terjadi. Misalnya saja, ketika komunisme dan sosialisme menjadi suatu alternatif sistim ekonomi, sosial, dan politik untuk seluruh dunia, beberapa kalangan dalam Islam menyatakan bahwa sosialisme tersebut adalah sistim yang Islami. Begitu pula dengan ideologi nasionalisme yang merebak untuk mengusir para penjajah, dijustifikasi berasal dari Islam. Ada pula ketika wacana konsep Negara Sekuler mendominasi pemikiran Muslim, maka politik Islam dalam aturan Negara dianggap bersistem teokrasi, dan tidak ada penjelasan terhadap bagaimana system itu harus berjalan. Lebih parah lagi, yang lain menyatakan bahwa tidak ada sistim politik dalam Islam. Tidak ada perintah mendirikan Negara dalam Al-Qur’an. Itu semua hanya dalam bentuk respon-respon yang emosional atau apologetik. Hal tersebut merupakan buah dari usaha Barat yang merusak tatanan yang telah ada dalam Islam. Di Indonesia telah terjadi sejak masa Penjajahan Belanda, dan hingga kini masih terasa adanya upaya-upaya mengkaburkan politik dalam Islam. Bahkan, nilai-nilai Islam yang seharusnya terkandung dalam aktifitas politik, dianggap tidak perlu ada.

Demokrasi: Benarkah sebagai Kebanggaan?

Kini yang menjadi kiblat utama dalam politik Negara-negara dunia adalah demokrasi. Dapat dipahami memang ketika banyak Negara-negara di dunia yang mengagungkan demokrasi, terlepas dari ideologinya apa. Misalnya, Negara liberal dengan pasti akan menganggap demokrasi adalah hal yang harus ada dalam system politik Negara, karena mencerminkan kebebasan dan turut sertanya masyarakat dalam beraktifitas politik. Di sisi dunia lain, Negara yang berideologi komunis-sosialis, mengklaim pula bahwa Negara mereka adalah Negara yang menganut paham demokrasi, padahal konsep demokrasi adalah buah dari kapitalisme, suatu paham yang sangat mereka benci. Alasan mereka adalah karena kekayaan Negara telah diberikan sama rata bagi seluruh rakyat. Begitu pula Negara lainnya yang mengklaim mereka adalah Negara demokrasi.

Sepertinya demokrasi telah menjadi mekanisme atau bahkan menjadi tujuan sempurna dari politik kebanyakan Negara di dunia. Nilai-nilai luhur demokrasi yang begitu dianggap ideal dan benar bagi setiap ideologi Negara, didengungkan dengan aplikasi yang berbeda-beda pula. Jadi, penilaian terhadap demokrasi tidak akan terlepas dari ideologi Negara. Jika seperti itu, maka sebenarnya tidak ada penjelasan yang utuh dan pasti mengenai demokrasi, karena nilai luhurnya diimplikasikan lewat mulut ideologi. Dan, jika seperti itu, maka demokrasi itu tidak ada. Sepertinya konsep demokrasi hanya dipakai oleh sebagian besar Negara di dunia hanya dijadikan label.

Plato (429-347 SM) dan Muhammad Iqbal pun mengkritik demokrasi, terutama demokrasi ala Indonesia. Diantaranya adalah tidak dapat menyeleksi pimpinan yang berkualitas. Dengan demokrasi pemimpin yang dipilih hanya berdasrkan pada non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga. Menurut Plato, pemimpin yang hebat adalah yang mengerti wisdom dan memimpin dengan wisdom yang diperoleh dari ide yang sempurna. Iqbal beranggapan bahwa dari ribuan semut tidak akan melahirkan seorang Sulaiman, dan dari ratusan keledai, tidak akan melahirkan pemikiran manusia.

Dalam hal ini penulis bukan ingin menyalahkan demokrasi atau menolak demokrasi, tapi lebih kepada usaha penyadaran nilai dari konsep yang biasa kita dengungkan. Tidak perlu kita terlalu bertekad dengan meneriakan “demokrasi” dalam tiap langkah kita membangun negeri. Karena Negara Indonesia telah sangat demokratis, sampai menghina Presiden pun dianggap hal yang heroik. Ada hal lain yang lebih pantas kita suarakan dan kembangkan. Demokrasi hanya menjadi jalur bebas bagi kita yang memberikan kesempatan bagi kita untuk berjalan menuju tujuan dengan leluasa.

Usaha Memahami Identitas Politik Islam Kembali

Mengingat bahwa konsep-konsep politik yang kita pahami banyak berasal dari Barat Sekuler, maka mestinya terdapat usaha dewesternisasi dan desekulerisasi. Uasaha ini bukan merupakan tindakan rasis, tapi merupakan proses epistemologis yang berkutat pada masalah konsep. Oleh karena itu, Muslim tidak seharusnya menolak atau menerima suatu konsep asing manapun kecuali telah benar-benar mengetahui konsep-konsep tersebut dan setelah benar-benar mengenal dan menguasai konsep-konsep fundamental dalam Islam. Namun masalahnya, para cendikiawan Muslim yang menguasai teori politik modern seperti hanyut dalam status quo sistim politik Barat. Tidak banyak, atau kalau boleh dikatakan tidak ada, cendikiawan Muslim yang berani keluar dari pakem sistim politik Barat dan memberi alternatif yang dapat diterima oleh masyarakat atau yang dapat menyadarkan masyarakat perlunya alternatif politik baru, Islam tentunya. Ini suatu kerja yang tidak sebentar dan tidak sederhana, namun perlu dimulai segera!

Singkatnya identifikasi sistim politik Islam hanya dapat dilakukan dengan Islam (Islamic worldview) yang dipancarkan oleh Al-Qur’an dan diperjelas oleh Nabi serta dipraktekkannya. Semua itu diperkaya dengan praktek para sahabat dan wacana para ulama sesudahnya. Jika sistim politik Islam telah ditemukan identitasnya maka langkah selanjutnya adalah melakukan upaya pengembangannya secara konseptual. Hamid Fahmy Z. menawarkan langkah pengembangannya, proses awal adalah mengevaluasi secara kritis sistim politik Barat Sekuler, kemudian menganalisa aspek-aspek politik Islam yang tidak compatible dengan Islam untuk dibuang dan aspek-aspek yang compatible untuk diadopsi. Aspek-aspek yang compatible itu kemudian diintegrasikan dengan aspek-aspek politik Islam, diuji validitasya, untuk akhirnya dilakukan proses Islamisasi dimana konsep-konsep sentralnya benar-benar dominan, sehingga tidak lagi dapat disebut kecuali sistim atau teori politik Islam. Tapi ini belum selesai, ia perlu satu lagi, yaitu sosialisasi konsep. Sebab tanpa proses ini orang-orang yang tidak mengenal Islam dengan baik akan memusuhi dan menolaknya.[]

Tidak ada komentar: