Kamis, 24 Juni 2010

Menanggapi “Pisau” Logika bagi Agama

Dalam suatu diskusi, penulis sempat terlibat dengan suatu pewacanaan masalah logika. Wacana ini sangat menarik untuk diangkat karena letak logika dalam kehidupan manusia adalah hal yang tak dapat dilepaskan dalam menjawab berbagai permasalahan. Hal ini sangat berpengaruh, terutama hubungannya dengan agama, suatu aspek yang paling “sensitive” bagi masyarakat Indonesia. Dan, jika menghubungkannya dengan kemampuan logika, maka banyak hal dari agama yang tak dapat dijawab oleh logika. Mungkin di negeri Barat tidak banyak hal ini dibahas, mengingat bahwa mereka tidak terlalu mempersoalkan masalah yang terjadi dalam perkembangan teologi. Tapi di Indonesia, tentu saja berbeda, karena selama belasan abad masyarakat Indonesia dibesarkan dan banyak diatur oleh agama. Namun, dalam hal ini bukanlah masalah adanya posisi agama dalam masyarakat timur ataupun barat, yang dipermasalahkan adalah bagaimana logika atau akal manusia menjadi senjata manusia untuk membunuh agama manusia itu sendiri.

Logika adalah suatu langkah bagi manusia untuk menggunakan akal dalam menyelesaikan berbagai hal. Tentu saja akal menusia begitu memiliki peran pentung dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan yang akhirnya akan berimbas pada membangun peradaban. Namun, tidak dapat disangkal pula bahwa logika manusia tidak sempurna dalam menjelaskan segala sesuatu. Menjelaskan berbagai hal yang non-material tidak dapat dilakukan lewat logika. Bahkan, emosi manusia juga sering memengaruhi setiap wacana yang dikemukakan. Sehingga, hal yang begitu emosional dapat dilogiskan lewat retorika yang seakan-akan menghipnotis para pendengarnya.

Terlepas dari masalah peretorikan logika atau akal dalam masalah rasional atau irasional, Islam begitu sangat menghormati posisi akal, melebihi agama-agama lain. Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya. Dalam al-Qur'an, kata-kata yang berakar pada 'aql bertaburan di berbagai surat. Kata-kata: afalaa ta’qiluun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?) terulang dalam al-Al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qiluun (agar kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilËn (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluuna bihaa, ya'qiluhaa, takuunuu ta'qiluun, dsb. Penghargaan terhadap akal yang sedemikian agung dalam Islam, bukan berarti akal dibiarkan bebas berkelana liar tanpa batas dan arahan, terutama saat berhadapan dengan ketentuan wahyu.

Memang benar, jika dikatakan bahwa kebanyakan manusia akan menggunakan akalnya memutuskan bahwa suatu hal dikatakan benar atau salah. Hal tersebut adalah sangat wajar dan bahkan menjadi suatu tuntutan dasar bagi manusia untuk menemukan kebenaran. Tapi banyak hal yang membuat akal tersebut tidak akan menemukan kepastian dalam proses berfikirnya. Akan sangat sulit bagi setiap kepala mengeneralisir fakta-fakta yang ada dengan sama persis. Hal ini dikarenakan bahwa setiap manusia memiliki alam sosial yang berbeda dan memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Lingkungan sosial akan memengaruhi pikiran dari manusia, sehingga akan sangat sulit—bahkan tidak mungkin—seorang akan mendapatkan kesimpulan pengetahuan yang objektif dan bebas dari pengaruh pola-pola konseptual pada tempat dan waktu yang bersangkutan. Ini tentu sangat subnjektif.

Lalu timbul pertanyaan, logika adala salah satu alat untuk mendapatkan suatu kebenaran, yang mana akan berlaku bagi manusia yang lain, jadi bagaimana bisa penulis malah menyangkut-pautkannya dengan subjektifitas manusia? Bukankah setiap manusia memiliki kemampuan berlogika, dan jika logikanya benar maka akan menuju satu arah yang sama? Inilah masalahnya, tidak semua manusia memiliki kemampuan akal dan logika yang sama. Sehingga masing-masing dari manusia itu tidak akan mengetahui mana yang menjadi “kebenaran” yang benar, karena mereka akan membentuk klaim-klaim sendiri. Tidak ada jaminan bahwa manusia yang lebih pintar logika atau pengakalannya akan dapat memengaruhi manusia yang bodoh. Sebaliknya, sangat tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang logikannya dangkal tidak akan dapat memengaruhi banyak manusia lainya. Hanya dengan penyajian kata-kata atau symbol yang baik di mata manusia yang lain, maka hasil penglogikaan akan mudah diterima. Kejadian seperti ini sudah banyak terjadi di lingkungan kita. Jadi, artinya adalah logika tidak dapat mengantarkan seluruh manusia pada satu titik kebenaran.

Lalu, bagaimana hubungannya dengan agama? Hubungannya sudah sangat jelas, manusia tidak akan lepas dari akal dan manusia pun akan selalu membutuhkan agama, apapun bentuknya (atheis pun dapat dikategorikan orang yang beragama atau beraliran karena keatheisannya). Dalam hal ini, logika benar-benar ibarat pisau. Tapi bukan pisau seperti yang biasa kita tafsirkan, bahwa “logika adalah pisau, maka tergantung dari siapa saja yang memegangnya. Jika logika itu digunakan oleh orang jahat, maka hasilnyapun akan jahat, dan jika dipegang oleh orang baik, maka hasilnya pun akan baik”. Bukan seperti itu, melainkan akan menjadi lebih rumit lagi. Bagaimana seorang yang memiliki agama, ternyata meragukan kembali agamanya berkat logika yang ia pakai. Lalu, penganut suatu agama menyerang agama lain dengan logika yang ia pakai.

Logika memang ibarat pisau, tapi ia berada berdiri tegak di suatu kerumunan orang yang tidak terkendali. Siapapun yang dapat mengambil pisau itu terlebih dahulu, maka ia akan dapat melukai yang lain, sehingga orang lain harus kembali mencari pisau di tempat yang lain atau akan terbunuh dengan perlahan. Dalam kasus lain adalah jika salah seorang salah cara mengambil pisaunya, maka ia akan terluka sendiri. Artinya adalah, siapapun yang telah menemukan alasan logis tentang agama lain, maka ia akan dapat menyerang agama tersebut dengan membabi-buta. Begitu juga ketika seseorang salah menggunakan logika atau sumber ilmu yang ia dapat, maka akan sangat memungkinkan terjadi suatu keraguan yang mendalam terhadap agama yang ia anut sendiri. Padahal, agama adalah bersifat dogmatis dan memang tidak dapat dilogikakan secara sederhana.

Hal-hal di atas menemukan bahwa adanya keterbatasan dan kecacatan dari logika itu sendiri. Ia tidak dapat mejawab alasan-alasan dari perintah agama yang harus dilaksanakan oleh kaum yang beriman. Keimana akan lebih sesuai jika dirasakan oleh hati, benda yang langsung tersentuh oleh sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Banyak bukti keberadaan Tuhan, namun tidak dapat ditentang oleh logika manusia. Jangankan untuk itu, untuk menyamakan kebenaran dari kesimpulan sehingga kesimpulan tersebut adalah objektif, akal atau logika mansia pun tidak mampu. Menjadi masalah besar adalah saat ini banyak manusia yang mendewakan logika dan akal, seakan-akan akal adala sumber dari segala kebenara, melebihi agama. Mereka tidak menggungakan iman sebagai landasan berfikir

Akal adalah pemberian Tuhan untuk digunakan manusia menjawab segala yang terjadi dan mengembangkan peradaban pada tahap yang lebih tinggi dan sejahtera. Namun sayangnya, iman kepada tuhan tidak menjadi landasan bagi mereka. Mereka mengambil segala kerasionalan yang dianggap oleh mereka adalah rasional dan benar, lalu meninggalkan segala bentuk yang irasional. Maka terbentuklah lingkungan sekuler diantara manusia. Ketika keimanan telah menjadi landasan dalam berfikir, maka akal manusia akan dapat membangun peradaban manusia yang ideal. Itulah tempat sebenarnya akal itu berada dan memiliki fungsi yang sebenarnya. Wallāhu a’lam bissawāb []

Tidak ada komentar: