Kamis, 10 Juni 2010

Arti Sains Islam

Memahami sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam itu tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebagai sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini diatarbelakangi oleh suatu kondisi di mana sains Barat modern dengan globalisasi, Westernisasi dan berbagai macam fahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Prof. al-Attas sebagai loss of adab yang juga loss of identity. Bahkan diantaranya umat Isam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sains, takut dan malu terhadap identitas Islam dan bahkan mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu politik, dan ilmu ekonomi dsb. Padahal, ketika manusia menyebut “sains modern” atau sains Barat, tanpa disadari, ia telah meletakan identitas pada sains tersebut, yait sains yang diproduksi oleh ideology, kepercayaan, dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dalam ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dsb.


Dampak dari hilangnya identitas dapat diamati dari pernyataan Jamaludin al-Afghani:

“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan pengetahuan, dan tidak ada ketidak-sesuaian antara sains dan ilmu pengetahuan dengan dasar-dasar agama.”


Sikap al-Afghani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan, karya Tuhan tidak akan bertentangan kata atau firman-Nya. Dengan nada yang sedikit berbeda, Fazlur Rahman pun setuju. Baginya, ilmu itu netral, tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Namun dari ketiga tokoh tersebut tidak menjelaskan atau mungkin tidak menyadari bahwa sains yang dipelajari pada abad 19 dan 20 ini adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia Barat yang sekuler.


Sikap-sikap diatas diartikan oleh Seyyed Hosein Nasr sama dengan menganggap bahwa sains Barat sama dengan sains Islam, dengan alasan bahwa sains barat itu adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains Barat itu, tidak menyadari bahwa setelah diterjemahkan, sains Islam telah dimodifikasi dan disekulerkan. Sehingga sains modern merupakan hasil dari filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigma dari Islam.


Selain itu, banyak pula Muslim yang menganggap bahwa sains itu adalah bebas nilai. Jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya perubaha paradigma, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti dengan sains lainnya, itu berdasarkan pada sistem nilai dan pandangan hidup tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terahadap realitas fisik, subyek yang mengalami realitas itu dan hubungan keduannya. Maka, Ziauddin Sadar mnyatakan bahwa:

“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islam. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”


Sementara identitas sains Barat, seperti disinyalir Mayam Jameelah “sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya dan bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.” Jadi sains Barat itu tidak netral dan sudah tentu berbeda dari sains Islam.


Sains Barat dianggap netral karena mereka terebas dari agama. Tuhan tidak dijadikan suatu pertimbangan dalam sains Barat, karena dianggap tidak riel. Namun, sains tidak terlepas dari ideologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Pada akhrnya, dalam sains sendiri ternyata menciptakan suatu doktrin-doktrin yang tidak beda dengan agama, lalu doktrin-doktrin dianggap menjadi hal yang pasti dan bertentangan dengan doktrin dari agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Agama menjadi terpojok, dimarginalkan, bahkan dipertentangkan, dan akhirnya ditinggalkan.


Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup keuannya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika dan agama berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam situasi ini, maka pertemuan diantara keduannya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktannya bahwa sains dari barat ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup Islam. Sains Barat meletakan akal lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama dan bahkan meninggalkan agama.


Prof. Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa al-Qur’an dan Hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki struktur konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam. Secara kronologis, perjalanan dari al-Qur’an menjadi dislplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama adalah worldview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual di mana aktivitas keilmuan dikembangkan; kedua adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai ‘struktur konsep keilmuan’ (scientific conceptual scheme); dan ketiga adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan ‘struktur konsep keilmuan khusus’ (specific scientific conceptual scheme).


Adi Setia lebih memperjelas identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasikan pertama-tama melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis Muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Sina, al-Khwarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan Pandangan Hidup Islam.


Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga adalah upaya-upaya ilmuwan Muslim untuk merumuskan kembalikonsep-konsep sains Islam dengan tujuan untuk menghasilkan definisi, metodologi, paradigma keilmuan Islam yang dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan batin.


Dengan pemaparan diatas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektif. Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan Islamdengan konsep worldview, kita telah dapat mengenal identitas sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang pada alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu,tata nilai dan moralitas berbeda dari cara pandang Barat. Menurut Pandangan Hidup Islam, alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Franz Rosenthal berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (akhlak). Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas.


Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “I felt the need to leave behind all the books I read on order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya pada Tuhan), maka―meminjam istilah Hamid Fahmy Zarkasyi―bagi Muslim tentu harus berkata: “Saya perlu meninggalkan semua buku yang saya baca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya pada Tuhan”. Kalau Kant memilih logika either or, mamilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan Ilmu dan Tuhan. Wallāhu a’lam bissawāb.[]

1 komentar:

Si Wiwid mengatakan...

nice blog :)